Artikel: Sunan Prawata
Sunan Prawata dan Pentingnya Kedaulatan Maritim
Oleh Ali Romdhoni
* * *
Pangeran Hadi Mukmin (kelak menjadi Sultan Demak ke-4, juga mashur bergelar Sunan Prawata) sejak awal telah disiapkan menjadi penerus sang ayah, Sultan Trengana. Menurut catatan Slamet Muljana (2007), ketika masih berumur belasan tahun Pangeran Mukmin sudah mempelajari teknik pembuatan kapal khusus pengangkut pasukan perang, dan juga strategi memimpin prajurit angkatan laut.
Melihat bekas-bekas Selat Muria dari dataran tinggi di Prawoto
Dalam hal teknik perkapalan dan strategi
memimpin pasukan angkatan laut, Pangeran Mukmin mendapat didikan dari
sang kakek keponakan, yaitu Raden Husain, adik Raden Fatah (se-ibu).
Pangeran Mukmin ditempa oleh sang kakek, Raden Husain putra Arya Damar
dari Palembang, di tempat yang bernama Semarang(-an). Saya memperoleh
data, bahwa di sebelah utara Prawata terdapat wilayah bernama Kutuk
Semarangan.
Pada masa-masa selanjutnya, sang ayah, Sultan
Trenggana, sangat sibuk melakukan "penyisiran" Pulau Jawa. Maklum, di
beberapa wilayah bagian memerlukan perhatian khusus karena stabilitas
nasional di Nusantara pada akhir pemerintahan Majapahit mengalami
goncangan. Apalagi pemerintahan Majapahit kemudian dilanjutkan oleh
Demak, dan pusat pemerintahannya bergeser kurang lebih 188 kilometer
(bila kita ukur dengan garis lurus) ke arah barat.
Gambar menunjukkan ada garis imajiner antara Kiai Candi, Kanjeng Sunan Prawata, Kiai Mas Wuragil, dan Gunung Sohenan Prawata (2019)
Pekerjaan
rumah pemerintahan Majapahit dan penerusnya (Demak) ini masih ditambah
lagi dengan potensi gangguan dari luar negeri, yaitu kedatangan
orang-orang Eropa yang terus merangsak ke wilayah Demak untuk tujuan
memonopoli perdagangan rempah dan ingin mengambil paksa kekayaan sumber
daya alam di Nusantara.
Sebagai panglima Angkatan Laut Demak,
sang Sultan Trenggana mempercayakan kepada putrinya sendiri, yaitu Ratu
Kalinyamat. Markas besarnya terkonsentrasi di bagian barat dari Gunung
Muria, atau di Jepara. Dari Jepara, Putri Kalinyamat berhasil mengontrol
dan memukul mundur setiap kapal Portugis yang akan menyerang Demak.
Selama Kalinyamat mengendalikan wilayah maritim pada masa Demak,
gerombolan perahu dan kapal dari Portugis tidak mampu menyentuh tembok
batas kekuasaan Demak.
Gambar Jarak Prawata dan Jepara (2019)
Apakah karena itu, orang-orang Portugis
geram, dan kemudian kita bisa melihat dari catatan-catatan yang mereka
terbitkan yang umumnya 'menghitamkan' para tokoh dari Demak? Semua
menjadi semakin menarik untuk didiskusikan.
Kemudian kita
bergeser sedikit ke bagian timur dari Pulau Jawa. Dari Gresik, Lamongan,
Tuban terus menuju ke arah Bojonegoro, Blora, hingga ke Ngawi dan
Pajang (Solo), titik-titik itu merupakan deretan jalur penting yang
dihubungkan dengan Sungai Bengawan Solo. Jalur ini dikuasakan oleh
Sultan Trenggana kepada anak keponakannya sendiri, Pangeran Arya
Penangsang.
Mengapa seorang Penangsang yang pemberani dan tidak
mengenal kompromi itu dipercaya menjaga wilayah di sepanjang Bengawan
Solo, tepatnya menjadi seorang Adipati di Jipang Panolan (sekarang Cepu,
Blora). Di sini, kita seyogyanya melakukan kajian sejarah dengan
seksama.
Maka, kemudian terbersit di pikiran saya, ...Bengawan
Solo adalah jalur utama yang menjadi gerbang masuk dari pantai utara
Jawa menuju ke daerah pedalaman Jawa. Jalur ini sangat penting. Karena
itu, akses untuk memasuki wilayah Jawa pedalaman perlu dijaga oleh para
kesatria Demak yang tangguh dan berjiwa nasionalis.
Di hampir
ujung selatan Jawa bagian tengah, atau di wilayah pedalaman Jawa bagian
tengah, di sana juga ada kerabat penting dari Demak, yaitu Mas Karebet,
menantu Sultan Trenggana. Karebet juga mengemban tugas dari Kesultanan
Demak yang tidak kalah penting dan gentingnya.
Hingga di sini
kita bisa membaca kesungguhan Demak dalam menjaga dan mengelola
tiap-tiap jengkal wilayahnya. Ini belum termasuk titik-titik penting
lain di Jawa, seperti di Madiun, Surabaya, Bali, hingga Madura. Begitu
juga di wilayah Jawa bagian barat, dan di luar Jawa, seperti Palembang
hingga Aceh, Malaka, Maluku, dan lainnya--yang semuanya membutuhkan
penanganan serius hingga pada masa-masa berikutnya.
Nah,
bagaimana dengan pertahanan di jantung atau pusat kerajaan. Sebagai
penjaga gawang Istana Kesultanan Demak adalah sang putra mahkota, yaitu
Pangeran Mukmin. Ia seorang calon sultan yang sejak awal memiliki
orientasi kepemimpinan kesultanan yang berwawasan maritim, selain cara
pandang raja Jawa yang meng-global. Terdapat catatan manuskrip sejarah
yang memberitakan visi dan misi kepemimpinan Sultan Hadi Mukmin, bahwa
penerus Sultan Trenggana ini sudah memiliki konsep untuk merangkul
seluruh penguasa di Nusantara dan sekitarnya, bahkan telah melakukan
hubungan diplomasi dengan penguasa terpenting di daratan Turki.
Iya, kita bisa membayangkan, betapa sibuk dan repotnya para kerabat
terpenting Kesultanan Demak dalam menjalankan tugas di bagian
masing-masing. Di sini, ada satu hal yang bisa kita garis-bawahi, pada
era Kesultanan Demak hingga sultan terakhir, Pangeran Mukmin, kedaulatan
wilayah maritim menjadi prioritas dengan tidak mengabaikan stabilitas
daerah agraris.
Sampul buku "Istana Prawoto: Jejak Pusat Kesultanan Demak" (Jakarta, 2018)
Bila demikian, Kesultanan Demak adalah era yang
disibukkan dengan tugas untuk memulihkan situasi politik dan kedaulatan
nasional di Nusantara pasca kemunduran pemerintahan Majapahit di
masa-masa akhirnya. Kesibukan lain yang juga menguras energi adalah
mengurus para pendatang dari Eropa yang mengancam keamanan (dalam arti
luas) bangsa kita. Kedua faktor penting itu masih ditambah lagi dengan
tugas dakwah keislaman di Nusantara yang grafiknya terus naik. Wallahu
a'lam.
Lahu, wa lahum, al-Fatihah.
Prawata, 15 Januari 2019
Komentar