ringkasan skripsi ali romdhoni

Analisis Semiotik terhadap Teks Piagam Madinah

Undergraduate Theses from JTPTIAIN / 2006-07-28 13:57:17
Oleh : Ali Romdhoni (4101124), Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo (aliromdhoni@yahoo.com)
Dibuat : 2006-03-10, dengan 8 file

Keyword : Semiotik, Piagam Madinah, Pemerintahan Islam
Url : http://

Ketika menapaki undakan (level/dimensi) demi undakan tahap penelitian, penulis merasakan betapa untuk mempelajari sebuah ritme pemikiran kelompok masyarakat atau bangsa tertentu, yang dibatasi oleh kurun waktu dengan segala aspek budaya, hukum, dan nalar yang melandasi segala aktifitas mereka, menuntut kerja keras, kejelian, dan kecerdikan dalam mengungkap "yang tampak", "yang samar", dan atau "yang tidak nampak" sama sekali. Seorang peneliti memang dituntut "menjaga jarak" demi menghasilkan temuan yang objektif. Tetapi,—kaitannya dengan penelitian terhadap kelompok masyarakat tertentu—ada "nalar" yang harus dipahami seorang peneliti, sehingga bisa mendudukkan masalah dengan benar, serta mengetahui hal yang melatarbelakangi segala tindakan masyarakat tertentu.
Dalam menganalisis teks Piagam Madinah, penulis menarik beberapa simpul sebagai berikut:
1. Pada analisa level sintaksis dapat diketemukan bahwa Piagam Madinah atau Perjanjian Madinah lahir dan dibentuk oleh struktur tanda: adat-budaya yang diwarisi secara turun temurun, hukum lokal, agama lengkap dengan ritual dan pemahaman, dan kesalehan lokal (sifat, karakter) masyarakat Arab saat itu. Perjanjian itu sendiri–dengan aturan main dan asumsi pemakainya—merupakan kebiasaan, tradisi, dan atau nalar bagi masyarakat Arab (Makkah , Madinah, dan sekitarnya) ketika terlibat percekcokan dengan sesama anggota suku atau masyarakat. Sehingga, dari sisi struktur pertandaan yang membangunnya, (isi) Piagam Madinah bisa dimaknai sebagai kompromi bersama antar tanda-tanda, yaitu tradisi, agama, hukum, dan lain sebagainya. Kesemuanya ikut mewarnai diktum-diktum dalam teks Piagam Madinah. Aspek sosial dan budaya ini menjadi hal urgen dalam membuat/merumuskan setiap pasal. Sehingga lahirnya perjanjian ini adalah langkah mengadopsi potret sosial kemasyarakatan, selain juga mempertimbangkan aspek moral dan atau agama (dalam hal ini Islam), yang—sekali lagi penulis tegaskan di sini—agama sudah menjadi bagian dari nalar atau paradigma masyarakat Arab saat itu.
2. Pada analisa level semantis, dapat terungkap bahwa setiap diktum dalam teks Piagam Madinah mengandung aturan main (code of conduct) merujuk pada sebuah praktek kehidupan masyarakat setempat (masyarakat Arab), atau, sebenarnya masing-masing item memiliki kaitan dengan tradisi, hukum, adat masyarakat yang hidup, dan juga konteks sosio-kultur saat itu. Dengan kata lain, melalui analisa level ini, dapat diketemukan makna setiap dari pasal Piagam Madinah, yang tidak lain merupakan potret kehidupan masyarakat Arab—dengan segala aktifitasnya—saat itu.
3. Dan tentu saja, dengan analisa pada level pragmatis, penulis menemukan efek setiap pasal, yang merupakan "kebijakan" baru sebuah lembaga, bagi para pengguna/elemen yang terlibat atau menyepakati isi perjanjian tersebut. Baik efek psikologi, ekonomi, sosial, gaya hidup, spiritualitas, hukum, kriminalitas, dan lain sebagainya. Efek kebijakan itu, misalnya, bisa diamati pada perubahan anggapan terhadap kesalahan personal, yang tadinya ditimpakan kepada kelompok/suku, namun seiring dengan isi perjanjian tersebut setiap pribadi bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri.
Dengan demikian, terkait dengan sekelompok masyarakat Muslim yang berasumsi bahwa "Piagam Madinah merupakan landasan hukum mendirikan sebuah negara (Islam)," penulis perlu menegaskan di sini bahwa Nabi Muhammad, dengan Piagam Madinah, tidak pernah berpretensi mendirikan sebuah negara. Dia, dengan ajaran Islam, telah menancapkan sebuah ajaran universal: etika, hukum, ilmu pengetahuan, spiritualitas, filsafat, dan memungkinkan masih banyak lagi,—yang semua ini dalam bahasa Hegel bisa disebut sebagai "ideologi". Dan ketika sebuah ideologi ada, secara alamiah membutuhkan alat bernama kekuasaan untuk melanggengkannya. Ini terjadi pada masa setelahnya, yaitu generasi al-Khulafa' al-Rasyidin bagian belakang, dan masa-masa sesudahnya.
Yang juga perlu penulis tuliskan, dalam analisis ini, posisi peneliti adalah sebagai seorang "pembaca" sebuah teks. Dengan demikian, analisis ini adalah hasil pembacaan dari seorang pembaca (peneliti) teks Piagam Madinah. Berdasarkan asumsi ini, sangat terbuka sekali kemungkinan, apa yang dihasilkan dari pembacaan teks Piagam Madinah ini berbeda dengan hasil dari pembacaan peneliti lain.

Sumber: Perpustakaan IAIN Sunan Ampel (A member of the PTAI Network)
Atau, lihat di: http://sas.iibn.info/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl-s1-2006-aliromdhon-782&q=Negara

Komentar

Postingan Populer