Bahasa Indonesia dalam Kajian Akademis

ALI ROMDHONI, MA. (Pemerhati bahasa dan perilaku sosial. Dosen di STAI Mathali’ul Falah Pati, Jawa Tengah, Indonesia) menulis bahan diskusi pertemuan kedua: Bahasa merupakan media untuk mengekspresikan gagasan yang ada di hati dan fikiran seseorang. Sebagai media ekspresi, bahasa manusia kemudian disimbolkan dalam bentuk ucapan (bahasa lisan) dan tulisan—selain juga ada bahasa isyarat yang disimbolkan dengan gerakan sebagian anggota badan. Dengan berbahasa, kelak terjadi komunikasi antara satu manusia dengan manusia lainnya. Di sini, banyak peristiwa penting terjadi; mulai dari kegiatan mencari informasi, berekspresi, menghegemoni orang lain, sampai membangun kualitas orang lain. Kita bisa membayangkan seandainya di dunia ini tidak ada media untuk berekspresi (bahasa). Demikian pula keberadaan bahasa nasional Indonesia. Bahasa ini didisain untuk menjadi semacam ‘benang’ yang bisa menghubungkan jutaan masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang alat komunikasi, budaya, pengetahuan, dan identitas suku yang berbeda-beda. Dengan bahasa persatuan nasional, jutaan warga yang berasal dari lingkungan yang berbeda-beda itu memiliki kesempatan untuk mengadakan tali-sambung, mengikat diri menjadi satu bangsa. Tanpa bahasa yang bisa dimengerti secara bersama, bangsa-bangsa di Nusantara yang kala itu terdiri dari ratusan suku akan mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi diri menjadi negara kesatuan. Karena kebutuhan ini, satu bangsa, termasuk di dalamnya bangsa Indonesia, perlu memiliki bahasa yang khas, yang bisa difahami oleh seluruh masyarakat penutur(user)-nya. Sebagai bahasa nasional satu negara, bahasa Indonesia memiliki makna khusus, yaitu: identitas utama bangsa Indonesia, bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar (komunikasi) dalam dunia pendidikan, bahasa resmi untuk kepentingan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat, dan media untuk mengembangkan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi di negara Indonesia. Sebagai bahasa pribadi (seseorang), bahasa Indonesia juga menjadi sistem berfikir (logika). Alasannya, bahasa adalah ekspresi dari kerangka berfikir yang sistematis-logis. Ini tidak hanya berhenti pada diri si pengguna bahasa, tetapi juga diukur dari sisi audiens (mukhathab). Artinya, selain diukur dari penggunaan tata bahasa, ekspresi berfikir seseorang—dengan berbahasa—juga bisa dilihat dari sisi bisa atau tidaknya ungkapan seseorang dipahami. Bahasa juga bisa dipahami sebagai simbol yang mengikat makna. Di sini, satu diksi (kalimat) akan mengandung konsep pengetahuan. Bila demikian, kualitas berbahasa seseorang sekaligus berdampak kepada kualitas kedalaman pengetahuan seseorang. Kekayaan koleksi kata yang dimiliki seseorang akan berdampak luas, termasuk keluasan logika berfikirnya yang sudah berhasil diekspresikan dalam bentuk simbol berbahasa. Di sini, bahasa bisa dimaknai sebagai semacam alat kuasa oleh siapa saja yang bisa memahami dan menutur-katakan satu bahasa. Dengan memahami satu bahasa, kita akan memiliki kesempatan dan kemungkinan untuk menyerap segenap tata-pengetahuan, budaya, dan nalar yang dimiliki pengguna bahasa terkait. Penting juga dibahas di sini, bahasa—yang paling kesohor—merupakan identitas asal-usul dan karakter seseorang. Di sini, bahasa kemudian menjadi simbol kedaulatan seseorang atau satu bangsa. Bangsa yang besar, salah satunya, ditandai dengan kebesaran bahasanya yang dituturkan oleh komunitas yang besar. Bangsa besar yang dibutuhkan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini, akan berdampak kepada besarnya wibawa bahasa yang digunakan sehingga bangsa-bangsa lain juga berbondong-bondong memiliki kepentingan untuk mempelajarinya. Hari ini kita menyaksikan, dunia ilmu dikuasai orang-orang Barat, pengetahuan Islam dikuasai bangsa Arab, dunia teknologi dan industri sangat maju di belahan negara-negara Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Hongkong dan Cina. Negara-negara di kawasan ini terkenal gigih, sehingga mereka memiliki tingkat perekonomian yang tinggi dan maju). Kondisi yang demikian berdampak kepada bergantungnya masyarakat dunia terhadap mereka dalam arti luas, termasuk kebutuhan untuk memahami bahasa mereka, tentu saja untuk kepentingan pembelajaran. Hal ini tentu mengingatkan kita semua agar tidak memiliki persepsi yang mengabaikan bahasa ibu di negeri kita sendiri. Khususnya di negeri tercinta Indonesia, perguruan tinggi sebagai lembaga yang menaungi komunitas akademik (mahasiswa dan cendekiawan yang terlibat dalam pendidikan tinggi dan penelitian) menjadi benteng dan harapan terakhir untuk melahirkan cita ideal bagi kemasyhuran dan kedaulatan bahasa dan bangsa kita. Mari bertutur-kata dengan bahasa yang baik dan benar, logis dan bisa dimengerti. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan Populer