Literatur Yunani dan Manuskrip Sang Kiai
Penulis bersama H Syatiri A di Perpustakaan PBNU |
Pada
pertengahan Januari 2016 lalu saya mengunjungi perpustakaan di Gedung Kantor
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jalan Kramat Jakarta Pusat. Oleh pengelola,
saya ditunjukkan koleksi berupa literature tua karya ulama-ulama Nusantara tahun
1600 hingga 1800-an. Terdapat tidak kurang dari 21 judul kitab. Uniknya,
kitab-kitab—yang semuanya ditulis dengan bahasa Melayu dan sebagian lagi dengan
bahasa Jawa—ini telah diproduksi secara massal oleh penerbit di Mesir yang berjaya
di tahun 1950 hingga 1970-an, Musthafa
al-Babi al-Halabi.
Ada
beberapa hal yang perlu penulis tegaskan di sini. Pertama, karya ulama Nusantara selama ini diidentifikasi sebagai
karya lokal. Bahkan sebagian kita inferior karena hal itu. Namun masyarakat akademik
dunia (atau setidaknya Asia) justru melihat dan mengapresiasi karya itu dengan baik.
Dalam
penelusuran penulis, tahun 1930-an jumlah masyarakat Asia Tenggara yang tinggal
di Mekah untuk kepentingan ibadah haji dan studi Islam cukup signifikan. Kementerian
Agama RI mencatat, tahun 1930 jamaah haji Indonesia berjumlah 4.385 orang.
Jumlah ini terus naik pada tahun 1936 mencapai 14.976 orang.
Jumlah ini masih ditambah dengan masyarakat muslim yang berada di Mekah dari
Negara Malaysia, Brunei
Darussalam, Pattani (Thailand),
dan Singapura.
Karya
ulama Nusantara yang memiliki pasar pembaca cukup fanatik, dibaca oleh
pengusaha percetakan ternama di Mesir kala itu sebagai peluang. Ini artinya,
pengaruh ulama Nusantara sudah diakui oleh masyarakat Asia, bahkan popular di
Timur Tengah.
Kedua,
karya literature merupakan rekaman fenomena dan kondisi masyarakat di sekitar
sang penulis. Khusus kitab keislaman tulisan ulama Indonesia, ia merupakan hasil
interpretasi terhadap ajaran agama Islam. Sebagai generasi muda, kita harus
melihat dan mengkaji manuskrip-manuskrip itu.
Langkah
pertama adalah melacak dan mendata sebaran karya para intelektual muslim Indonesia.
Kenapa ini penting kita lakukan. Karakter muslim di Indonesia unik dan tidak
tumbuh di tempat lain. Ke depan, Islam Indonesia berpotensi menjadi rujukan
bagi kehidupan keberagamaan di dunia.
Pembaacaan
terhadap karya-karya keislaman masa lalu sangat dibutuhkan dalam rangka
merumuskan bangunan keilmuan (epistemology) Islam yang khas, yang telah ada dan
berkembang di Nusantara. Ini alasan bagi pentingnya melacak manuskrip karya
para kiai masa lalu.
PELAJARAN
DARI YUNANI
Catatan sejarah menginformasikan, pada masa kepemimpinan Bani Umayyah di
Damaskus masyarakat muslim merintis gerakan penerjemahan ilmu pengetahuan. Pada
masa ini sejumlah karya ilmuwan Yunani dan Koptic tentang ilmu kimia
diterjemahkan. Di bawah kekuasaan Umar II (717-720), Masarjawaih, seorang
Yahudi dari Basra menerjemahkan buku kedokteran dari bahasa Siria ke dalam
bahasa Arab.
Buku lain yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab adalah
tentang astronomi, fisika, dan matematika. Raja juga mengirim sarjana-sarjana
ke berbagai tempat, termasuk ke Byzantium untuk mencari manuskrip.
Bernard Lewis dalam The Arabs in History
menulis, beberapa periode kemudian lahir generasi penulis muslim orisinil,
terutama dari bangsa non-Arab, seperti sejarawan dan teolog al-Thabari (m. 310
H/923 M), ahli fisika al-Razi (865-925), dokter dan filsuf Ibnu Sina
(980-1037), serta astronom dan ilmuawan ensiklopedik al-Biruni (970-1048).
Penerjemahan khazanah pengetahuan Yunani mencapai puncaknya pada masa
kekhalifahan al-Ma'mun (memerintah
198-219 H/ 813-833 M) di Baghdad. Raja ini dikenal sangat mencintai ilmu
pengetahuan. Dia memprakarsai pendirian Bait al-Hikmah, semacam pusat riset dan lembaga
ilmu pengetahuan Islam. Pusat kajian ilmiah ini kemudian menciptakan suasana
kondusif bagi berkembangnya pemikiran rasional.
Hingga pada masa itu, para intelektual muslim telah berhasil menyerap khazanah
keilmuan bangsa lain dan menyajikan kembali kepada masyarakat dalam bentuk buku
berbahasa Arab. Kerja-kerja ini adalah upaya penting dalam rangka mempermudah
akses keilmuan bagi masyarakat muslim. Bila sebelumnya pengetahuan Yunani hanya
bisa diakses masyarakat Yunani, maka setelah terjemahan bahasa Arab-nya terbit,
komunitas Arab bisa menyerap informasi yang lahir dari negeri itu.
Capaian kedua yang merupakan hasil dari program
pemerintah kala itu adalah, generasi muslim telah mampu
menuliskan informasi yang diperoleh dari buku-buku asing dalam bentuk ikhtisar.
Prestasi ini selangkah lebih maju, bila dibandingkan dengan sekedar
menerjemahkan. Meskipun keduanya memiliki orientasi dan kelebihan
masing-masing. Namun yang lebih penting lagi, pasca itu lahir generasi penulis
muslim, seperti al-Razi, Ibn Sina dan al-Biruni. Saat itulah, proses hegemoni
ilmu pengetahuan oleh kaum intelektual muslim dimulai.
Nurcholish Madjid menandaskan, karena ketertarikan umat Islam yang begitu
tinggi terhadap para filsuf Yunani, sampai terdapat satu buku filsafat yang
menafsirkan pemikiran-pemikiran Aristoteles, Fi al-Khair al-Mahdh, yang aslinya hanya diketahui dalam
bahasa Arab. Bahkan beredar dugaan, pengarangnya adalah seorang muslim, kalau
bukan seorang Yahudi atau Kristen yang berbahasa Arab. Kelak, buku ini diterjemahkan
ke dalm bahasa Latin, Liber de Causis. Artinya, saat itu ilmuwan muslim
telah menjadi kunci bagi tradisi dan keilmuan dunia. Masyarakat Latin pun harus
menerjemahkan buku-buku filsafat dari karya ilmuwan Islam.
Kelak sejarah mencatat, umat Islam menjadi pewaris tunggal bagi tradisi
panjang sejak zaman Yunani-Romawi, Iran, Fir'aun, dan Assyria-Babilonia. Philip K. Hitti menggambarkan, dengan bekal rasa ingin tahu yang kuat
ilmuwan muslim mulai berasimilasi, mengadaptasi dan menghasilkan khazanah
intelektual dan estetikanya sendiri.
Di Ctesiphon, Edessa, Nisibis, Damaskus, Yerusalem, dan Iskandariyah,
mereka menyaksikan, mengagumi dan meniru karya-karya para arsitek, seniman,
perajin, dan pengusaha intan. Ke pusat-pusat peradaban kuno itulah mereka
datang, melihat, dan kemudian menang.
Jelas, pengaruh gerakan penerjemahan sangat besar, melambungkan Islam
hingga dikenal seluruh penghuni dunia.
Dalam
konteks manuskrip kiai Nusantara, ulama al-Jawi
pada masa lalu ternyata sudah mendunia. Perhatian dan tema tulisan mereka menembus
batas teritorial benua. Di sana misalmya terdapat terjemahan kitab berjudul Nuzhat al-Ikhwan fi Ta’lim al-Lughat wa
Tafsir Ikhtilaf al-Lisan, mengkaji gramatika empat bahasa: Melayu, Aceh,
Arab dan Turki.
Selain
itu ada Ikhtisar Kitab al-Hikam karya
Ahmad Ibnu Atha’illah oleh pujangga besar muslim Indonesia, Kiai Haji Sholeh
Darat (m. 1903), Semarang. Juga terdapat al-Shirath
al-Mustaqim fi Fiqh Madzhab al-Syafi’I, karya Nuruddin Muhammad al-Raniri
(m. 1658).
Belajar
dari sejarah Yunani dan pekerjaan ambisius yang sudah pernah dilakukan para
ilmuwan muslim, karya para ulama Nusantara harus kita rawat dan warisi. Merawat
khazanah ini berarti mempelajari bangunan keislaman masa lalu yang kokoh di
bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk selanjutnya mengenalkan kepada
anak dan cucu kita. Mewarisi berarti menjaga keutuhan bangunan bangsa dan
nilai-nilai agama yang menjadi ikat-pinggangnya.
Bila
demikian, mengabaikan manuskrip Nusantara sama halnya dengan membiarkan negeri
ini terancam oleh orang-orang yang bersiap memberangus keutuhan bangsa. Penulis
mengajak kepada kaum muda untuk segera memulai kerja besar ini.
ALI ROMDHONI
Penulis
buku Al-Qur’an dan Literasi
Direktur PKPI2 Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim Semarang
Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/65545/literatur-yunani-dan-manuskrip-sang-kiai
Komentar