pasar
KOMPAS, Selasa, 4 Juli 2006
Pasar Tradisional
Simbol Ketangguhan Ekonomi Kerakyatan
Oleh ALI ROMDHONI
Menyaksikan aktivitas ekonomi (jual beli) di pasar tradisional pada waktu fajar, sungguh sangat mengasyikkan. Betapa tidak, di saat udara masih dingin, bahkan sebelum adzan subuh berkumandang, tempat ini sudah ramai dengan transaksi jual beli. Pembeli pada jam-jam itu, umumnya, adalah para tengkulak yang mencari barang dagangan untuk dijual lagi di rumah atau di tempat lain.
Meski langit masih gelap, suasana pasar ramai, berdesakan, seperti pasar pada umumnya. Sementara di seberang jalan para tukang becak berjejer, siap menunggu penumpang langganan.
Pemandangan seperti ini bisa kita saksikan di beberapa pasar tradisional di [K]ota Semarang. Antara lain[diantaranya] Pasar Johar, Pasar Karangayu (di Jalan Jenderal Sudirman), Pasar Kobong (di Jalan Pengapon), dan Pasar Peterongan.
“Aktifitas Fajar” (begitu penulis menyebut) ini menggambarkan kegigihan dan keuletan para pedagang kita, yang tidak menyerah menghadapi sulitnya hidup. Di pada saat orang-orang masih tidur pulas, para pedagang ini menarik selimut dan memulai aktifitas dengan pergi ke pasar. Demi apa lagi kalau tidak untuk memenuhi kecukupan keluarga, biaya sekolah putera-puteri mereka, dan kebutuhan hidup lainnya.
Kini, seiring perkembangan zaman, keberadaan pasar tradisional di Kota Semarang mulai diremehkan. Dengan dalih kerapian, estetika, efisiensi, serta citra sebagai kota besar, fungsi pasar tradisional sebagai tempat jual beli digantikan oleh mal dan supermarket.
Pertanyaannya, mal dan supermarket mana yang sudah buka sejak matahari belum bersinar? Swalayan jenis apa yang memberi kesempatan ibu-ibu pedagang nasi pecel, telur ceplok, dan lontong campur berbelanja dengan transaksi saling tawar-menawar harga? Jawabnya, tidak ada, kecuali pasar tradisional.
Di sini, nilai utilitas atau nilai guna (use value) pasar tradisional terasa urgen bagi masyarakat bawah kita. Karena pada pasar jenis ini terdapat puluhan ribu orang yang menggantungkan biaya hidupnya. Mereka adalah kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah. Sementara mal dan swalayan adalah simbol ekonomi kapitalis, yang hanya menguntungkan para pemilik modal, konglomerat, atau investor asing.
Apabila menjamurnya mal, swalayan, dan supermarket dimaknai sebagai penanda kemajuan sebuah kota, kondisi ini kontras dengan jumlah kemiskinan yang terus meningkat seiring hilangnya pasar tradisional dan banyaknya kawula cilik (pedagang kecil) yang kehilangan sumber penghidupan.
Bangsa Indonesia membutuhkan manusia gigih, tidak kenal malas, dan beretos kerja tinggi, seperti semangat hidup para pedagang pasar tradisional. Bukan manusia yang menumpuk kekayaan dari hasil korupsi, menjual aset negara. Mari kita berfikir lebih jernih demi kemanusiaan.
Oleh ALI ROMDHONI
Menyaksikan aktivitas ekonomi (jual beli) di pasar tradisional pada waktu fajar, sungguh sangat mengasyikkan. Betapa tidak, di saat udara masih dingin, bahkan sebelum adzan subuh berkumandang, tempat ini sudah ramai dengan transaksi jual beli. Pembeli pada jam-jam itu, umumnya, adalah para tengkulak yang mencari barang dagangan untuk dijual lagi di rumah atau di tempat lain.
Meski langit masih gelap, suasana pasar ramai, berdesakan, seperti pasar pada umumnya. Sementara di seberang jalan para tukang becak berjejer, siap menunggu penumpang langganan.
Pemandangan seperti ini bisa kita saksikan di beberapa pasar tradisional di [K]ota Semarang. Antara lain[diantaranya] Pasar Johar, Pasar Karangayu (di Jalan Jenderal Sudirman), Pasar Kobong (di Jalan Pengapon), dan Pasar Peterongan.
“Aktifitas Fajar” (begitu penulis menyebut) ini menggambarkan kegigihan dan keuletan para pedagang kita, yang tidak menyerah menghadapi sulitnya hidup. Di pada saat orang-orang masih tidur pulas, para pedagang ini menarik selimut dan memulai aktifitas dengan pergi ke pasar. Demi apa lagi kalau tidak untuk memenuhi kecukupan keluarga, biaya sekolah putera-puteri mereka, dan kebutuhan hidup lainnya.
Kini, seiring perkembangan zaman, keberadaan pasar tradisional di Kota Semarang mulai diremehkan. Dengan dalih kerapian, estetika, efisiensi, serta citra sebagai kota besar, fungsi pasar tradisional sebagai tempat jual beli digantikan oleh mal dan supermarket.
Pertanyaannya, mal dan supermarket mana yang sudah buka sejak matahari belum bersinar? Swalayan jenis apa yang memberi kesempatan ibu-ibu pedagang nasi pecel, telur ceplok, dan lontong campur berbelanja dengan transaksi saling tawar-menawar harga? Jawabnya, tidak ada, kecuali pasar tradisional.
Di sini, nilai utilitas atau nilai guna (use value) pasar tradisional terasa urgen bagi masyarakat bawah kita. Karena pada pasar jenis ini terdapat puluhan ribu orang yang menggantungkan biaya hidupnya. Mereka adalah kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah. Sementara mal dan swalayan adalah simbol ekonomi kapitalis, yang hanya menguntungkan para pemilik modal, konglomerat, atau investor asing.
Apabila menjamurnya mal, swalayan, dan supermarket dimaknai sebagai penanda kemajuan sebuah kota, kondisi ini kontras dengan jumlah kemiskinan yang terus meningkat seiring hilangnya pasar tradisional dan banyaknya kawula cilik (pedagang kecil) yang kehilangan sumber penghidupan.
Bangsa Indonesia membutuhkan manusia gigih, tidak kenal malas, dan beretos kerja tinggi, seperti semangat hidup para pedagang pasar tradisional. Bukan manusia yang menumpuk kekayaan dari hasil korupsi, menjual aset negara. Mari kita berfikir lebih jernih demi kemanusiaan.
ALI ROMDHONI
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya. Staf ahli Surat Kabar Mahasiswa AMANAT IAIN Walisongo Semarang. Mengamati perkembangan pasar tradisional di kota Semarang dan beberapa daerah di Jawa Tengah.
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya. Staf ahli Surat Kabar Mahasiswa AMANAT IAIN Walisongo Semarang. Mengamati perkembangan pasar tradisional di kota Semarang dan beberapa daerah di Jawa Tengah.
Komentar