Tapa Sang Ratu Kalinyamat
Serambi Jepara, November 2006
Ratu Kalinyamat, Wudo soko Rojobrono
Oleh ALI ROMDHONI
“Ingsun ora pisan-pisan jengkar soko topo ingsun, yen durung biso keramas getihe lan kesed jambule Aryo Penangsang,” (Artinya, saya tidak akan beranjak dari pertapaanku, selagi belum keramas dengan darah Aryo Penangsang, serta membasuh kakiku dengan rambutnya).
Menafsir Topo Wudo Kalinyamat
Turun dari Panggung Politik
Oleh ALI ROMDHONI
“Ingsun ora pisan-pisan jengkar soko topo ingsun, yen durung biso keramas getihe lan kesed jambule Aryo Penangsang,” (Artinya, saya tidak akan beranjak dari pertapaanku, selagi belum keramas dengan darah Aryo Penangsang, serta membasuh kakiku dengan rambutnya).
Konon, kalimat sumpah itu diucapkan Retno Kencono, atau yang
masyhur dengan sebutan Ratu Kalinyamat di tempat pertapaannya, di lereng antara
Gunung Donorejo dan Gunung Clering.
Ratu perempuan kerajaan yang berpusat di Jepara—tepatnya di Desa
Kriyan Kecamatan Kalinyamatan—itu terpaksa menjanda pada tahun 1549 setelah suaminya,
Sultan Hadirin dibunuh Aryo Penangsang. Sejak saat itu, di salah satu sudut gunung,
ratu yang dilukiskan cantik ini bertahun-tahun bertapa telanjang (topo wudo),
hanya berbalut rambutnya yang panjang.
Laku topo putri Sultan
Trenggono ini tidak lain adalah untuk memohon pertolongan dari Tuhan agar sakit
hatinya terhadap Penangsang, sepupunya sendiri terbalaskan. Dendam menggumpal
di dada Kalinyamat karena suaminya dibunuh putra pamannya, Surowiyoto ketika rombongan
Kalinyamat pulang dari kediaman Sunan Kudus.
Tidak hanya suaminya yang dibunuh Penangsang. Sebelumnya, Aryo
Penangsang mengirim salah seorang prajurit kaputren Jipang Panolan,
Rangkud, untuk membunuh Sunan Prawoto (Raden Bagus Hadi Mukmin), kakak kandung
Kalinyamat.
Karena itulah Kalinyamat bermaksud melaporkan keberandalan
(tindakan ngawur) Penangsang kepada Sunan Kudus. Namun, iring-iringan
Kalinyamat yang akan kembali ke Jepara disergab oleh para abdi setia Penangsang
di tapal batas (perbatasan) antara Jepara dan Kudus.
Duka akibat ditinggalkan dua orang tercinta membuat Kalinyamat terlunta-lunta.
Dia kemudian memohon kepada Tuhan melalui topo wudo asinjang rikmo agar
hidupnya dibebaskan dari nestapa.
Doa ratu cantik ini pun didengar Tuhan. Penangsang tewas secara
tragis dalam suatu “duel bergengsi” dengan Danang Sutowijoyo (Senopati Ing
Alogo, kelak mendirikan Kerajaan Mataram Islam). Menurut H.J. De Graaf (1985) dalam
buku Awal Kebangkitan Mataram-nya, pertarungan dua kesatria ini
berlangsung di Sungai Sore, di tepian Bengawan Solo.
Mula-mula Penangsang terus menantang meski tombak kiai plered,
pusaka Sutowijoyo berhasil merobek lambungnya. Adipati Jipang Panolan itu
bahkan pamer kesaktian. Ususnya yang terurai keluar dia ikatkan pada keris
pusakanya. Penangsang tetap kokoh.
Penangsang menyerang-balik Sutowijoyo. Ketika lawannya lengah,
Penangsang tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cepat dia menghunus keris
dan bermaksud menghujamkan pada dada Sutowijoyo. Tetapi dia lupa, pada kerisnya
membelit ususnya sendiri. Karena kecerobohan Penangsang ini, dia mati secara
mengenaskan, ususnya tercabik oleh kerisnya sendiri.
Menafsir Topo Wudo Kalinyamat
Situs pertapaan Ratu Kalinyamat itu kini diyakini berada di Desa
Tulakan, Kecamatan Keling. Letaknya sekitar 40 kilometer arah timur laut Kota
Jepara, atau 78 kilometer dari Kota Kudus, Jawa Tengah. Di tempat itu terdapat bangunan
sederhana berukuran 3x6 meter, yang berada persis di tepian sungai kecil di
Tulakan. Oleh Pemerintah Kabupaten Jepara, lokasi ini telah dibangun pintu
gerbang.
Tempat pemandian untuk kungkum (berendam) di sungai
kecil dekat pertapaan juga dibangun pagar pemisah untuk peziarah (baca: pelaku tirakatan)
pria dan wanita. Jalanan dan halaman situs pun telah diperkeras dengan paving
block.
Petilasan pertapaan adik kandung Sunan Prawoto ini setiap malam
Jumat Wage dipenuhi peziarah yang datang dari berbagai daerah di sekitar
Jepara. Para peziarah kebanyakan kaum perempuan yang ingin cantik alami seperti
Ratu Kalinyamat. Syaratnya, mereka terlebih dahulu harus mandi di sungai kecil di
dekat situs bekas pertapaan. Setelah itu mereka tirakatan selama 40
hari.
Rupanya laku topo Kalinyamat dengan sumpahnya itu
ditafsiri masyarakat Desa Tulakan dan sekitarnya sebagai wujud kesetiaan seorang
istri (Kalinyamat) kepada suami, dan bakti seorang adik kepada saudara tua.
Demi menuntut keadilan untuk suami dan kakaknya, Kalinyamat ikhlas
meninggalkan gemerlap kehidupan istana. Dia bertapa, mohon kepada Tuhan supaya si
pembunuh tertangkap dan diadili sebanding dengan angkara yang diperbuat.
Sebagian masyarakat memaknai topo wudo asinjang rikma
sebagai perbuatan asusila. Yaitu bertapa dengan badan telanjang tanpa balutan
busana selembar pun selain rambut yang terurai memanjang.
Yang perlu diingat, Kalinyamat adalah putri kedua Sultan
Trenggono, penguasa Kerajaan Demak Bintoro. Oleh ayahandanya, Kalinyamat
kemudian didaulat mengawal pelabuhan terpenting di wilayah Jawa bagian tengah,
yaitu Jepara. Sebuah wilayah yang kelak dibangun Kalinyamat menjadi kerajaan
yang rakyatnya sejahtera dan makmur.
Di tangan Kalinyamat, Kerajaan Jepara maju pesat menjadi
“jendela-Demak”. Jepara menjadi pusat pergulatan dunia Internasional:
perdagangan, politik, ekspansi, dan persilangan budaya.
Dalam sejarah hidupnya, Kalinyamat bersentuhan langsung dengan
aktifitas para wali yang tersohor itu. Dia lahir dan dibesarkan di lingkungan
kerajaan dengan didikan agama yang ketat, selain juga dibekali dengan kecakapan
pemerintahan dan ilmu beladiri. Para guru spiritualnya adalah penasehat
kerajaan yang tidak lain adalah para wali sembilan.
Pertanyaannya, mungkinkah Kalinyamat melakukan tindakan asusila,
bertapa tanpa busana, topo wudo? Tindakan yang diasosiasikan
dengan dendam kesumat dan mengumbar berahi.
Turun dari Panggung Politik
Meskipun perkasa, Kalinyamat tetaplah seorang perempuan. Walaupun
penguasa, putri Trenggono itu tetaplah seorang yang bersaudara. Hati perempuan
itu terguncang tatkala tersadar: satu pesatu orang dekatnya terbunuh.
Dia tidak kuat lagi melanjutkan pentas yang melelahkan itu.
Kalinyamat tidak sanggup menjadikan semuanya sebagai “tumbal-kekuasaan”. Dia sampai
pada sebuah pilihan: mundur dari pentas kekuasaan. Bahkan dia sebenarnya tidak
menginginkan kematian Penangsang dengan mengenaskan. Karena Penangsang adalah
putra sang paman sendiri; saudara.
Kalinyamat, melalui iparnya, Hadiwijoyo (kelak menjadi Sultan Pajang),
menginginkan supaya Penangsang diadili seadil-adilnya. Ini pula yang dilakukan
Kalinyamat ketika Penangsang membunuh kakaknya, Sunan Prawoto. Dia bersama suaminya,
Pangeran Hadirin mengadu (baca: meminta keadilan) kepada Sunan Kudus.
Saat itu, Sunan Kudus (Ja’far Shodik) adalah salah satu dewan penasehat
Kerajaan Demak dan sosok guru yang disegani Penangsang. Tetapi agaknya keberutalan
Penangsang semakin menjadi.
Maka, ketika Pangeran Hadirin menjadi korban angkara
Penangsang, Kalinyamat menggunakan lembaga hukum negara, melalui Hadiwijoyo,
untuk mengadili Penangsang. Namun moment itu dimanfaatkan kelompok oposisi
yang dikomandani Ki Ageng Pemanahan.
Kelompok Pemanahan adalah orang-orang keturunan Mataram Kuno yang
merupakan pewaris bre (keturunan) Majapahit, yang mengawasi perkembangan
Demak secara ketat pasca runtuhnya kerajaan yang didirikan Kertarajasa
Jayawardana (Raden Wijaya) itu.
Kadernya yang disusupkan ke Demak mula-mula adalah Joko Tingkir
(Karebet). Berkat kecerdikan Ki Ageng Selo dan Kebo Kenongo (ayah Karebet), Hadiwijoyo
muda berhasil menjebol benteng Demak, menjadi keluarga Kerajaan Demak.
Dia diterima sebagai tamtama kerajaan setelah berhasil
melumpuhkan kebo edan (kerbau gila) yang sengaja direkayasa oleh guru
dan kakeknya, Ki Ageng Selo.
Di tempat yang berbeda, Ki Pemanahan, Ki Juru Mertani, dan Ki
Panjawi merancang strategi dengan menggembleng Sutowijoyo, anak
Pemanahan. Target orang-orang Selo (meminjam bahasa Graaf) ini adalah
menyiapkan Sutowijoyo sebagai calon pemimpin yang pilih tanding dan mengembalikan
kekuasaan ke trah Mataram dan Majapahit, yang tersingkir oleh Raden Fatah.
Pada puncaknya, strategi orang-orang Selo ini berhasil ketika Hadiwijoyo
dipercaya Kalinyamat untuk menangkap Penangsang. Pemanahan segera menyusun
strategi untuk mewujudkan impian yang lama terpendam. Dia mengutus Sutowijoyo
untuk menghadapi Penangsang dan berharap memperoleh imbalan dari penguasa Demak—kelak
mendapat imbalan wilayah Pati dan alas Mentaok.
Ulah kelompok Selo inilah yang merecoki proses susksesi
kepemimpinan di Demak. Akibatnya, bendera Kerajaan Demak harus turun karena
pusat kerajaan segera dipindah Hadiwijoyo dari pesisir pantai utara pulau Jawa ke
daerah pedalaman di Pajang (sekarang Surakarta).
Tetapi Kalinyamat terlanjur bulat, menarik diri dari keramaian
dunia. Dia tidak peduli dengan intrik yang dimainkan kelompok abangan. Kalinyamat
tetap teguh dalam pendiriannya, melepaskan perhiasan dunia: wudo. Kalinyamat
topo wudo dari harta benda, keduniaan, kerajaan (emas
rojobrono).
Tidak ada yang tersisa dalam dirinya. Bahkan kerajaan Demak sepeninggal
suaminya pun diserahkan kepada Joko Tingkir. Karena itu, asumsi bahwa Kalinyamat
melakukan tindak asusila dengan topo wudo layak dikaji ulang.
Bagi penulis, Kalinyamat konversi: dari penguasa bergelimang harta menjadi petapa yang tidak butuh apa-apa. Selain itu, toh tidak ada satu riwayat yang menceritakan bahwa Sang Ratu akhirnya keramas darah dan membasuh kaki dengan rambut Penangsang, meskipun pembunuh suaminya itu akhirnya diringkus.
Wallahu a'lam. Bagi penulis, Kalinyamat konversi: dari penguasa bergelimang harta menjadi petapa yang tidak butuh apa-apa. Selain itu, toh tidak ada satu riwayat yang menceritakan bahwa Sang Ratu akhirnya keramas darah dan membasuh kaki dengan rambut Penangsang, meskipun pembunuh suaminya itu akhirnya diringkus.
Komentar
jadi semakin penasaran, mungkin sekalian dikaji 'makna' berbusana rambut..kenapa tidak daun pisang atau...jenggot saja..(eh..ndak punya yaa..hehee..)
salut untuk Mas Ali Romdhoni
sejarah memang menarik sekali, karena pada saat bersamaan fakta yang sama dapat diinterpretasikan berbeda tergantung point of reference analisnya. sejarah raja-raja jawa memang penuh kontroversi. banyak versi dan interpretasi akibat kurangnya data empirik, sampai terkadang mirip perdebatan di fakultas paleontologi tentang peradaban prehistoris. tapi justru di situ menariknya. ya ga, mas?