terbit, buku NIN


Judul Buku:
Nalar Islam Nusantara
Studi Islam ala Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan NU

Editor:
ALI ROMDHONI

Penulis:
M. Mukhsin Jamil
Musahadi
Choirul Anwar
Abdul Kholiq

Penerbit:
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Depag RI

Dimensi: 14,5 x 21 cm – xviii + 504 halaman

Cetakan Pertama: Desember 2007
* * *

Catatan Editor
Buku Nalar Islam Nusantara (selanjutnya disebut NIN) merupakan rekonstruksi historis terhadap variasi model studi keislaman yang dikembangkan organisasi kemasyarakatan (ormas) Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad. Dengan mengkaji tradisi studi keislaman yang dikembangkan ormas-ormas tersebut, diharapkan bisa diketahui tradisi studi keislaman yang ada dan berkembang di Indonesia. Alasan menentukan empat lembaga (ormas) tersebut sebagai objek kajian, karena ormas-ormas tersebutlah yang memiliki tradisi studi keislaman yang terus dikembangkan dan diujicobakan terhadap ‘jama’ah’ mereka—serta memiliki basis massa yang ‘jelas’.
Kajian dalam buku NIN difokuskan pada penelusuran epistemologi (epitemology) pemikiran keislaman, yang meliputi: teologi, fikih, tasawuf, stail dakwah, serta beberapa hal lain yang menjadi karakter ormas, kemudian direkonstruksi dan dengan tetap melihat akar-akar kultural yang melatarbelakanginya. Historisitas ormas, dalam hal apa pun, sangat penting, karena setiap ormas memiliki pengalaman sejarah yang berbeda untuk bisa bertahan (survive) sampai hari ini. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa tipologi pemikiran keislaman yang berkembang di Indonesia (baca: berkembang di lingkungan ormas) merupakan hasil dialektika antara ajaran Islam dan realitas sejarah di Indonesia, yang kemudian melahirkan interpretasi versi masing-masing ormas. Dalam konteks yang lebih luas, kajian ini juga sepakat bahwa lembaran panjang sejarah Islam, sebagaimana bisa kita dapati sekarang ini, merupakan pergumulan masyarakat Islam untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam ruang dan waktu tertentu.
Karena itu, kalau pun setiap ormas memiliki kesimpulan yang ‘khas’ dalam melihat realitas sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama di Indonesia, hal itu lebih disebabkan kecenderungan corak pemikiran (baca: ‘ideologi’) yang sudah terbangun sejak lama dan melatarbelakangi berdirinya sebuah ormas. Dengan bahasa yang beda, sikap suatu ormas adalah hasil ijtihad yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, wajar ketika suatu ormas mengalami pergeseran paradigma, seiring dengan laju perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Indonesia. Sebuah ormas yang sangat ekstrim dan fundamental dalam menafsir teks-teks agama, misalnya, akan sangat mungkin kelak menampakkan wajah yang toleran dan demokrat dalam bersikap. Hal ini bergantung pada pergulatan kader-kadernya, serta siapa yang membawa gerbong ormas itu.
Buku NIN semula merupakan hasil penelitian M. Mukhsin Jamil, Musahadi, Choirul Anwar, dan Abdul Kholiq dari Pusat Penelitian Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Melalui pembacaan kritis terhadap sejarah panjang NU, Muhammadiyah, Persis dan Al Irsyad serta rekonstruksi sosial dan politik yang melingkupinya, penulis menarik beberapa kesimpulan: pertama, corak gerakan dan pemikiran keislaman Indonesia merupakan hasil dari dialektika antara pemahaman teks-teks keagamaan dengan realitas sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan, yang dijembatani oleh seperangkat kerangka epistemologi tertentu.
Kedua, berdasarkan studi terhadap ormas-ormas Islam di Indonesia dapat diketahui adanya kecenderungan dan dinamika pemikiran ormas Islam yang tidak monolitik. Setiap ormas memiliki model studi keislamam yang berbeda antara satu dengan yang lain. Ini akibat dari perbedaan paradigma dan respons atas keadaan yang selalu berubah (dinamis), dan dengan demikian, menunjukkan adanya keragaman model studi keislaman di Indonesia. Hal ini menjadikan organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia memiliki berbagai kecenderungan pemikiran. Karenanya, dinamika pemikiran dan gerakan Islam Indonesia tidak bisa dibatasi dalam kerangka konseptual tunggal. Kerangka pemahaman seperti tradisionalisme/modernis, literalisme/liberalisme, konservatif/liberal, merupakan kerangka yang bisa digunakan dalam seluruh pemahaman atas fakta-fakta yang ditemukan dalam penelitian ini.
Ketiga, terjadi pergeseran dan persilangan, yang mengakibatkan banyak cabang dan sayap dalam gerakan Islam Indonesia kontemporer. Ini ditandai dengan munculnya organisasi dan gerakan Islam baru. Nahdlatul Ulama yang—sering diklaim sebagai ormas—tradisional, sayapnya membentang dari ujung pemikiran yang konservatif hingga liberal. Langkah dan gerakannya juga tampak terekspresi ke dalam gerakan politik maupun kultural: mengurusi persoalan sosial keagamaan dengan memantapkan dirinya sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’i, namun juga mendirikan partai politik. Demikian pula Muhammadiyah. Organisasi ini sekarang bukan semata representasi satu sayap muslim Indonesia: Islam modernis. Lebih dari itu, paling tidak terdapat empat varian dalam sosiologi Muhammadiyah: Muhammadiyah puritan, Muhammadiyah toleran, Muhammadiyah NU dan Muhammadiyah abangan. Sayap politik organisasi ini juga membentang: dari fundamentalis-radikal hingga moderat dan akomodatif.
Keempat, dinamika pemikiran organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia, dengan berbagai variasi model studi keislamannya, tidak selamanya bisa terimplementasi secara baik pada level organisasi. Di Nahdlatul Ulama, misalnya, walaupun terjadi dinamika pemikiran yang luar biasa dan berhasil menggeser konsepsi bermadzhab, namun implementasi madzhab manhajy belum sepenuhnya bisa dilakukan dalam forum bahtsul masa’il. Demikian pula pembaruan dalam tubuh Muhammadiyah, masih dalam tarik menarik antara kubu puritan dengan kubu liberal. Pendekatan dekonstruktif, sebagaimana disuarakan oleh para kader muda Muhammadiyah, belum mendapat lahan subur di ladang pemikiran Muhammadiyah. Sementara itu, dua ormas Islam yang lain, yaitu Persis dan Al Irsyad, menampakkan dinamika baru yang signifikan. Namun, di dua ormas ini terjadi stagnasi dalam reformulasi model studi keislaman. Keduanya masih mempertahankan purifikasi dengan konsentrasi lebih pada institusi pendidikan.
Buku NIN kami maksudkan sebagai bagian dari usaha memahami dinamika pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Pemahaman yang hanya sepihak sering membuat kita kurang bijak dalam merespon fenomena tertentu. Salah satu contoh adalah fanatisme yang berlebihan dari penganut organisasi keislaman tertentu, terkadang, melahirkan sikap yang ekstrim, permusuhan, dan kebencian dalam memandang kelompok Islam lainnya. Lebih dari itu, informasi dalam buku NIN kami berharap bisa memperkaya wacana pemikiran keislaman dengan konteks keindonesiaan, membuka lebih luas cakrawala dan refleksi keagamaan, serta membimbing langkah kita untuk merespon semangat zaman di sekeliling kita, utamanya di Indonesia, yang akhir-akhir ini melesat begitu cepat.
Akhirul kalam, editor mengucapkan terima kasih, terutama kepada Mas M. Mukhsin Jamil, et al yang mempercayakan editing buku NIN. Terima kasih juga kepada teman-teman di ‘komunitas’ Ilham Institute Semarang. Selamat membaca!

Komentar

Postingan Populer