al ghazali

Kajian atas Kajian Posisi Al Ghazali
Catatan singkat terhadap tulisan Prof Kautsar Azhari Noer: ‘Mengkaji Ulang Posisi Al Ghazali dalam Sejarah Tasawuf’ (Paramadina, Vol. I, No. 2, 1999)

Oleh ALI ROMDHONI
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Februari 2007 [NIM: 06.2.00.1.14.08.0071]

Bismillahir rahmanir rahim
Ada beberapa statemen (pendapat) Prof Kautsar Azhari Noer, dalam tulisan tersebut, dan juga dalam diskusi di kelas Ulumul Qur’an ketika membahas makalah tersebut, yang kurang bisa saya sepakati.
Pertama, Prof Kautsar menganggap, bahwa pendapat para ilmuan: ‘Al Ghazali telah berhasil mendamaikan antara tasawuf dan syari’ah’, itu tidak benar. Alasan Prof Kautsar, fakta historis menunjukkan bahwa sepeninggal Al Ghazali pertentangan antara tasawuf dan ortodoksi tidak hilang.
Dalam hal ini, Prof Kautsar menunjukkan bukti banyaknya penguasa yang membantai kelompok sufi.
Terhadap pendapat Prof Kautsar ini, saya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan keberhasilan Al Ghazali dalam mendamaikan syari’ah dengan tasawuf adalah dalam hal argumen yang disampaikan kepada para fuqaha’. Selama ini, fuqaha’ cenderung menganggap bahwa tasawuf adalah penyimpangan dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Dalam hal ini Al Ghazali berhasil memberikan penjelasan yang sempurna kepada para fuqaha’, sehingga mereka bisa memahami tasawuf: tasawuf itu tidak sebuah penyimpangan, tetapi memang satu dimensi yang ada dalam Islam.
Adapun masih adanya pertentangan antara kelompok fuqaha’ dengan kaum sufi sepeninggal Al Ghazali, itu tidak lain adalah akibat dari intervensi para pemegang (atau orang yang menginginkan) kekuasaan/ politik praktis. Dalam hal ini ada yang memanfaat tangan para fuqaha’ untuk menghancurkan satu kelompok (kritis) tertentu.
Tetapi, di luar itu, para ulama baik dari kalangan sufi maupun syari’at, masing-masing sudah saling bisa menerima, dan tidak lagi mencela seperti sebelumnya.
Kedua, di penghujung tulisannya, Prof Kautsar mengatakan bahwa Al Ghazali sebenarnya adalah menganut tasawuf falsafi, bukan suni, meskipun dia diidentikkan sebagai pendukung utama tasawuf suni. Bukti dari argumen ini , menurut Prof Kautsar, adalah argumen-argumen yang dibangun Al Ghazali dalam kitab Misykat al Anwar, yang sangat filosofis itu.
Hal ini diperjelas lagi dalam diskusi di kelas, bahwa Al Ghazali tidak konsisten: antara yang diomongkan dengan yang lakukan sendiri; yang disampaikan kepada khalayak sunni/ mudah dicerna/ biasa-biasa saja, tetapi yang dilakukan sangat rumit/ filosofis/ dan tingkat tinggi.
Menurut saya, tindakan Al Ghazali ini bisa difahami. Tidaklah mungkin pengalaman spiritual Al Ghazali, yang bisa jadi sangat privasi, diceritakan kepada khalayak ramai. Dia/ Al Ghazali tentu sangat arif ketika menyimpan pengalaman spiritualnya, dan hanya menceritakan kepada orang tertentu, seperti motivasi dia untuk menulis Misykat al Anwar, yang hanya untuk kalangan tertentu.
Jadi, Al Ghazali tidak inkonsisten. Dia juga tetap sebagai sunni, tetapi bisa sangat filosofis ketika berhadapan dengan audiens yang memiliki tipologi seperti itu (filosofis).
Wallahu a’lam bish-shawab.


Catatan Disusun Guna Memenuhi Tugas Matakuliah Tasawuf (Survei Pemikiran Islam) yang Diampu oleh Prof Dr Kautsar Azhari Noer MA

Komentar

Postingan Populer