wisuda dini

Hindari Wisuda Dini
Oleh ALI ROMDHONI

Saya kaget, ketika seorang teman mahasiswa mengatakan slogan “hindari wisuda dini”. Bukankah dengan wisuda dini, menunjukkan seorang mahasiswa bisa menyelesaikan Sistem Kredit Semester (sks)-nya dengan cepat dan --tentunya juga-- sukses. Di samping itu juga tidak usah repot-repot terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk bayar SPP tiap semesternya. Kita juga bisa membahagiakan orang tua kita dengan mempersembahkan kepada beliau gelar sarjana yang kita peroleh, sekaligus membuktikan bahwa kita anak yang patut dibanggakan karena bisa lulus dengan cepat. Tapi mengapa Wisuda dini harus dihindari?
Permasalahannya begini. Secara wajar, kuliah adalah proses untuk menempa diri menjadi pribadi yang berkualitas. Hal ini tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Lama dan tidaknya kuliah, sebenarnya sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kita untuk menguasai berbagai disiplin ilmu. Karena, semakin lama kita menjadi penghuni kampus, idealnya semakin banyak pula hal-hal positif yang bisa kita dapatkan dari kampus. Karena kita tahu sendiri kampus adalah komunitas yang di dalamnya berkumpul para intelektual dari berbagai disiplin ilmu.
Tapi betulkah demikian? Apa benar semakin lama kita jadi penghuni kampus akan semakin matang kita? Juga apakah mahasiswa yang sampai pada semester terakhir dari batas waktu kuliah yang diperbolehkan berarti berhak menyandang predikat ideal? Beberapa pertanyaan tersebut yang kemudian mengusik pikiran saya. Karena bisa jadi semakin lama kita menyandang predikat anak kampus, kita tidak semakin matang malah semakin masam, bisa jadi khan.
Masing-masing jurusan pada setiap perguruan tinggi, punya standar jumlah sks yang harus dihabiskan oleh mahasiswa yang menjatuhkan pilihan masuk pada jurusan tersebut. Ada sebagian perguruan tinggi (PT) yang memakai aturan dibatasinya pengambilan sks di setiap semester. Jumlah sks yang boleh diambil, berdasarkan indek prestasi (IP) yang didapat. Semakin IP-nya tinggi kesempatan mengambil sks lebih banyak makin terbuka baginya. Meskipun tidak menghalangi dia untuk mengambil sks lebih sedikit dari jumlah sks yang dibolehkan karena pertimbangan alasan tertentu.
Alasan itu bisa karena selain mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan di bangku kuliah (ilmu teoritis), juga mendalami disiplin ilmu lain di luar jam kuliah yang lebih bersifat praktis dan sebagainya. Celakanya, banyak juga anak yang mengambil mata kuliah lebih sedikit bukan karena pertimbangan tersebut, tapi karena malas atau memang usaha mereka untuk mengejar IP terbaik hanya sampai disitu.
Dari sini, ketika orang kemudian bilang “hindari wisuda dini”, bisa dibenarkan, apabila dilandasi kesadaran bahwa tanpa waktu yang cukup lama, hasil yang kita dapat (menguasai ilmu–ilmu yang kita pelajari di bangku kuliah) relatif lebih sedikit. Karena waktu yang kita butuhkan untuk proses ke situ terbatas.
Tapi bisa juga tidak benar, ketika ternyata kita hanya ingin sekadar menikmati santainya jadi mahasiswa tanpa harus bekerja keras untuk berusaha mengisi diri kita dengan berbagai ilmu juga pengalaman hidup untuk menyongsong masa depan, dan ternyata hasil yang kita dapat tidak jauh beda dengan mereka yang membutuhkan waktu lebih singkat dari kita. Karena bagaimanapun juga waktu adalah satu hal yang sangat berharga, lebih-lebih bagi mereka yang menghargainya.
Maka saya akan tetap berfikir dua kali, ketika mendengar orang bilang “hindari wisuda dini”.

ALI ROMDHONI
Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Angkatan (KMA) 2001 Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.

Ditulis di Semarang pada tanggal: 04 April 2002

Komentar

Postingan Populer