kapok, petani


Majalah IDEA Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Edisi 25/ Agustus 2007

Kapok Jadi Petani

oleh ALI ROMDHONI

Duh… rekoso temen dadi wong tani” (artinya waduh… sungguh malang jadi petani). Ungkapan bernada memelas itu keluar dari mulut Warso, petani padi di Magelang, meratapi nasibnya—sebagai petani—yang selalu ’dikorbankan’. Kerjanya berat, modal harus banyak, tetapi harga jualnya rendah.
Lalu, mampukah mereka mencukupi biaya kebutuhan sehari-hari? Mungkinkah anak-anak mereka mengenyam pendidikan di sekolah? Strategi apa agar mereka segera keluar dari kemiskinan? Sederet pertanyaan ini sangat layak kita temukan jawabnya.
Tulisan ini bukan bermaksud mengurai perkembangan harga gabah atau beras akhir-akhir ini. Karena bagi penulis, hal itu sudah jelas. Rencana pemerintah mengimpor beras sebesar 210.000 ton menjadikan harga gabah dan beras anjlok, petani pun rugi. Akibatnya, banyak petani kehabisan modal untuk musim tanam yang akan datang. Persediaan gabah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, seperti makan. Dan itu pun sudah pas-pasan.
Karenanya, wajar bila petani berujar, kapok menjadi petani. Seandainya bisa memilih, mereka tentu akan menekuni profesi selain berpetani. Bagi mereka, berpetani adalah mimpi buruk di siang bolong. Takdir, yang kalau bisa, jangan sampai menimpa anak dan cucu tujuh puluh turunan.
Salahkah mereka, para petani? Tentu tidak!

ALI ROMDHONI
Dilahirkan dari Keluarga Petani-Santri
di Desa Prawoto, Pati, Indonesia.
Peneliti di ILHAM Institute Semarang.
Sekarang, bersama istri tinggal di Jakarta menempuh studi s2 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.

Komentar

Postingan Populer