cinta & hak

Antara Cinta dan Hak

Oleh ALI ROMDHONI

Dalam sebuah sebuah work shop jurnalistik, yang biasa diadakan oleh lembaga pers di kalangan mahasiswa, sebagai syarat dan pembekalan awal untuk masuk pada sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa, yang konsen dalam bidang kejurnalistikan, tiba-tiba seorang teman dekat (yang juga laki-laki) mengajak saya mencari tempat yang enak untuk mengatakan sesuatu yang sifatnya rahasia. Ya, mojoklah.
Tanpa basa-basi dia mengutarakan tujuannya mengapa mengajak saya ke tempat itu. Setelah itu, kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah; “aku harus berani berterusterang mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya ke dia, walaupun kenyataan pahit harus kuterima. Aku fikir ini yang terbaik untuk ku”.
Sebagaimana teman saya tadi, ungkapan diatas juga sering menjadi pilihan bagi mereka yang mau menyatakan perasaan suka, kepada orang yang sangat dicintai. Biasanya, sebelum memutuskan untuk mengucapkan I love you, sebagai ungkapan rasa cinta dan sayang yang tulus kepada lawan jenis, terlebih dahulu sudah terbayang didepan mata, antara kecewa dan bahagia. Bahagia apa bila cinta bersambut, sedangkan kecewa apa bila ternyata cinta bertepuk sebelah tangan: si pujaan hati belum membukakan hatinya.
Namun demikian, untuk melangkah pada putusan apakah harus menyatakan isi hati dengan jujur, berterusterang, atau tidak, bukanlah pilihan yang mudah. Saat-saat seperti itu --bagi pelaku cinta-- adalah saat yang paling sulit.
Hal itu karena ada kekhawatiran apa bila ternyata hanya rasa sakit yang didapat. Padahal sebelumnya belum ada jaminan untuk diterima. Bukankah lebih baik tidak usah diungkapkan, dan cukup disimpan dalam hati, kalau ternyata ujung-ujungnya hanya akan ditolak. Dan bukankah itu akan lebih baik. Karena tanpa harus merasakan sakit hati dan malu.
Tetapi, ada hal lain yang sifatnya ‘lebih’ dari sekedar menyimpan perasaan yang paling dalam. Perasaan cinta terhadap orang yang diam-diam setiap saat dipuja, dan dinanti kehadirannya. Keberanian mengungkap apa yang mengganjal dalam fikiran, terlebih hal yang menyangkut persoalan cinta dan perasaan, adalah sebuah kemenangan tersendiri: prestasi. Ditolak, atau diterima, itu masalah belakangan. Dan menolak atau menerima adalah hak pribadi setiap orang.
Setiap pribadi berhak bersuara dengan pertimbangan-nya sendiri. Untuk itu seorang laki-laki berhak menyatakan perasaan hatinya kepada perempuan. Begitu juga hak bagi perempuan untuk menolak, atau menyambut ungkapan cinta tersebut. Dan sebaliknya.
Siapa pun boleh meminta kepada orang lain untuk berbuat sesuai dengan apa yang diinginkan. Untuk menerima cintanya, misalnya. Pada kesempatan yang sama, hak setiap orang juga untuk tidak mengabulkan permintaan tersebut. Karena masing-masing pribadi memiliki alasan untuk menerima atau menolak. Bukankah demikian?
Terkadang kita dihadapkan pada situasi yang menjadikan kita tidak berdaya, untuk sekedar melakukan perbuatan yang berguna bagi diri sendiri. Apa lagi berbuat baik untuk orang lain. Dalam kondisi seperti itu, hanya kata ‘tidak’ yang bisa kita berikan kepada orang yang meminta kita untuk melakukan hal sesuai dengan keinginannya. Pada konteks ini, masihkan kita ingin agar kemauan kita selalu terpenuhi, sedangkan kita sadar, belum tentu orang lain mampu menuruti keinginan kita karena satu alasan. Bukankah akan sangat fatal akibatnya, apabila kita berfikiran agar apa yang kita inginskan selalu terpenuhi.
* * *
Dalam kita bernegara, bermasyarakat sehari-hari, seringkali kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terasa memaksa untuk selalu dituruti. Tanpa mau mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada fihak yang terkena kebijakan. Misalnya, dalam kasus penggusuran tanah, dan lain sebagainya. Memang, hak pemerintah untuk memberlakukan kebijakan menggusur pemukiman dengan dalih yang bermacam-macam. Tetapi pada kesempatan yang sama, hak para warga, untuk menerima, atau menolak kebikakan tersebut, karena alasan tertentu.
Apakah nasib dan kondisi rakyat sudah difikirkan, seandainya kebijakan itu harus diberlakukan. Kasus penggusuran terhadap masyarakat di sekitar lokasi tempat dibangunnya waduk Kedung Ombo, yang terletak diantara wilayah kabupaten Grobogan dan Sragen, adalah contoh nyata pemaksaan kehendak. Sikap masyarakat yang menolak kebijakan tersebut, tidak pernah dipahami sebagai reaksi wajar, karena kebijakan yang diberlakukan dirasa merugikan.
Kita sering beranggapan, apa yang kita inginkan adalah yang terbaik. Padahal belum tentu demikian. Karena hal itu ternyata hanya baik untuk diri kita. Untuk orang lain yang ada disekitar kita, tidak.
Untuk itu, keinginan yang dianggap baik, menjadi benar-benar baik apa bila terlebih dahulu ditimbang-timbang, apa baik untuk kita dan orang lain. Atau hanya untuk diri sendiri. Apa bila sudah seperti ini, rasanya tidak mudah memaksakan anggapan bahwa apa yang kita anggaap benar adalah bena-benar (ke)benar(an). Dengan demikian, juga tidak mudah maksa supaya keinginan kita selalu terpenuhi.
Dalam peribahasa Arab, ada ungkapan yang menggambarkan tentang batas kebebasan seseorang. Hurriyah al Mar’i mahdudun bi hurriyah ghairih. Kebebasan setiap individu dibatasi oleh kebebasan indivbidu lain. Setiap individu bebas untuk berbuat semaunya. Tetapi, setiap individu juga bebas dan berhak untuk merasa terganggu dengan tindakan orang lain. Bukankah yang demikian lebih demokratis. Bagaimana mungkin, kita bebas berkehendak, sedangakan orang lain terkurangi kebesannya karena kita?
Memang benar, kita berhak dengan orang lain disekitar kita. Namun orang lain juga berhak atas kita. Dengan kata lain, dalam diri kita terdapat hak orang lain. Apa bila kita sadar betul dengan hal ini, rasanya tidak mudah menjatuhkan pilihan, tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan efek samping yang timbul, terutama terhadap orang lain. [dh]

ALI ROMDHONI
Yang belajar memehami hakekat cinta

Komentar

Postingan Populer