kota dagang

Membongkar Mitos Kota Dagang
Oleh ALI ROMDHONI

Sebutan kota dagang, bagi Semarang, sudah melekat dari waktu ke waktu, bahkan sampai sekarang. Karena sebutan ini, masyarakat luas selalu mengaitkan Semarang dengan aktifitas ekonomi dan identik dengan budaya matrealistis. Produk dan jasa yang berasal atau berada di Semarang pasti mahal, padahal kualitas tidak menjamin. Pendidikan, makanan, dan transportasi, misalnya.
Itulah berbagai kesan untuk Semarang. Yang lebih parah lagi, Semarang seolah-olah dianggap hanya layak untuk aktivitas komersil. Kegiatan sosial, seni, budaya, agama, apa lagi pendidikan seakan “tabu” dan jarang ditemui di kota Atlas ini. Pendeknya, Semarang dianggap tidak memiliki potensi di sektor pendidikan, atau lainnya, kecuali ekonomi.
Anggapan tentang Semarang bisa kita bandingkan dengan Solo, misalnya, yang secara geografis berdekatan dan kotanya relatif lebih kecil. Solo dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa, sehingga menjadi tujuan sebagian wisatawan asing dan domestik. Sebutan kota Pelajar juga tidak jarang diberikan untuk kota itu, karenanya menjadi tujuan pelajar dan mahasiswa. Begitu juga Yogyakarta.
Beda dengan Semarang, baru mendengar orang langsung teringat dengan salah satu lagu berbahasa Jawa: “Semarang kaline banjir” (Semarang sungainya banjir), kota kumuh, kota dagang. Hampir tidak ada sebutan yang membesarkan hati penghuni kota ini. Sebutan kota metropolitan rasanya tidak terlalu dikenal, kota pendidikan juga tidak, apa lagi kota budaya sangat tidak populer di masyarakat.
Potensi di bidang pendidikan, misalnya, seolah dilupakan begitu saja. Padahal lebih dari 10 perguruan tinggi yang sudah memiliki nama berdiri di kota Ki Ageng Pandan Arang ini. Belum lagi bangunan-banguna kuno dan tempat bersejarahnya.
Sebagai ibu kota Jawa Tengah, Semarang sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dan unik. Nama Semarang juga tergolong tua. Sejak kerajaan Demak berdiri (tahun 1475 M, menurut Slamet Muljana), Semarang menjadi salah satu pelabuhan besar yang merupakan “jendela” peradaban dunia.
Pada tahun 1546 ketika Demak (dibawah kekuasaan Sultan trenggono) bermaksud melakukan ekspedisi ke Laut Timur, lebih kurang 1. 000 kapal Jung yang berkapasitas 400 penunmpang disiapkan di (pelabuhan) Semarang (lihat Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, 2005, hlm. 114). Interaksi budaya, suku-suku, penyebaran agama, dan tidak terkecuali aktivitas ekonomi dilakukan di Semarang. Kondisi ini terus berlangsung sampai ketika Nusantara diduduki penjajah.
Di antara bukti yang sulit di-tampik (ditolak) adalah keberadaan bermacam-macam perkampungan (Melayu, Cina, Arab), Masjid Kauman (Johar), serta Gereja Belenduk (Kota Lama) yang tetap eksis hingga sekarang, dan menjadi signifier (penanda) kejayaan Semarang tempo dulu.
Semarang juga menjadi saksi sejarah ketika para putra terbaiknya merelakan darah dan perjuangan, mempertahankan bumi pertiwi dari serangan balatentara Jepang. Peristiwa itu terjadi tanggal 15 sampai 20 Oktober 1945, dan terkenal dengan sebutan Pertempuran Lima Hari di Semarang. Prasasti yang mengabadikan insiden berdarah itu adalah Tugu Muda, yang berada di pusat kota, tepatnya di Jalan Pemuda.
Sebagai kota besar, Semarang menjadi tujuan pendatang dari berbagai profesi. Para perantau mencari penghidupan dan menetap di Semarang. Pelajar, mahasiswa, pendidik, tokoh agama, politikus sampai pekerja biasa, semua tumplek bleg di Semarang. Berbagai sarana kebutuhan masyarakat, mulai perguruan tinggi, taman budaya sampai pusat industri semua ada.
Sulit diketahui secara pasti, apakah “brand” kota dagang yang terlanjur tersiar, atau masyarakat Semarang yang terkonstruk dengan anggapan “miring” itu. Keduanya sama-sama mungkin.
Menurut teori mitos, sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos akan menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu hal yang dinyatakan dalam mitos (Alex Sobur, Analisis Teks Media, 2004, hlm. 130).
Agaknya, sebutan kota dagang tidak lagi mewakili aktivitas kota Semarang yang global, serta kurang pas untuk menyebut kota yang memiliki peranan penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas. Semarang tidak lagi kota dengan aktivitas tunggal.
Mulai sekarang Semarang harus terus berbenah, menyiapkan diri menjadi kota besar yang menjanjikan banyak provesi. Untuk mencapai hal ini tentu membutuhkan dukungan fasilitas yang memadai. Yang tidak kalah penting adalah kesiapan mental para penghuninya. Sebutan kota dagang adalah mitos yang harus dihancurkan oleh masyarakat kota Semarang sendiri. Untuk selanjutnya, mewujudkan Semarang kota metropolitan yang berbudaya dan mampu melahirkan para cerdik yang bermoral.

ALI ROMDHONI
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya, Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri, IAIN Walisongo Semarang.

Komentar

Postingan Populer