skripsi


Perjokian Skripsi
Praktik Korupsi Kaum Akademis

Oleh ALI ROMDHONI

Dalam tradisi kita, kehadiran mahasiswa di masyarakat selalu ditunggu. Bukan karena mahasiswa bisa memberi kekayaan materi, tetapi mahasiswa masih dipercaya memiliki kemampuan di atas rata-rata, sehingga kiprahnya diharapkan membawa pencerahan bagi komunitasnya. Di sini, mahasiswa dituntut memiliki ide-ide kreatif yang berguna bagi orang lain. Dan hanya orang cerdas, berwawasan luas yang mampu melahirkan gagasan brilliant dan tepat guna.
Begitu pula mahasiswa, untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat tidak bisa asal "pulang kampung". Mahasisswa harus membawa oleh-oleh untuk masyarakat tercinta yang sudah sejak lama menanti ketika menimba ilmu. Setidaknya, oleh-oleh itu berupa penguasaan ilmu yang ditekuni untuk diterapkan kepada masyarakat. Proses ini sepintas kelihatan sederhana, namun tidak gampang pada tataran praktek. Buktinya, banyak mahasiswa yang "pusing" ketika gelar sarjana telah menempel pada nama lengkapnya. Tidak sedikit mahasiswa yang bingung ketika lulus; antara survive (bertahan) di kota tempat belajar atau pulang kampung, berkumpul kembali dengan keluarga dan membangun masyarakat.

Korupsi Kaum Idealis
Baik skripsi, tesis, maupun disertasi merupakan tugas akhir mahasiswa untuk melatih dan menguji agar mahasiswa memiliki kemampuan mengkaji dan memecahkan persoalan. Hasil penelitian diharapkan melahirkan temuan terkini, serta mampu menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsa. Merebaknya sindikat terselubung biro pembuatan, jual beli, atau "konsultan" skripsi adalah fenomena memalukan bagi dunia akademik. Penulis mengkategorikan tindakan ini sebagai "praktik korupsi kaum idealis".
Korupsi yang dimaksud di sini adalah pemalsuan; pengakuan atas hak dan karya orang lain diklaim sebagai karya autentik seseorang, dan penyelewengan; menyelewengkan predikat intelektual. Ironisnya, tindak korupsi ini dilakukan oleh kaum intelektual atau calon intelektual yang masih duduk di lembaga pendidikan, yang notabene memegang teguh idealisme. Karena praktik korupsi, apapun alasannya, praktik jual beli skripsi, tesis, dan disertasi adalah tindak kejahatan. Sejajar dengan kejahatan-kejahatan lain, seperti pembunuhan, teror, pemerkosaan, dan lain-lain yang harus diberantas dari muka bumi.
Menurut penulis, kondisi ini tidak bisa dilihat dari satu sisi, yaitu menyalahkan pihak penjual jasa pembuatan skripsi, atau menghukum mahasiswa pengguna jasa dengan sangsi yang ekstrem. Tetapi, kedua pihak (penjual jasa dan pengguna) saling terkait, bahkan dengan kondisi dan iklim yang berkembang di sekitarnya. Sehingga apa bila ingin mendudukkan persoalan dengan benar, keduanya musti diposisikan sesuai porsinya.
Setidaknya ada tiga hal yang mendorong menjamurnya biro pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi. Pertama, faktor kesulitan ekonomi. Para lulusan (sarjana dan magister) kita yang masih menganggur, tidak keberatan melakukan research (skripsi, tesis, atau disertasi) dengan imbalan berkisar 500 ribu sampai 2, 5 juta. Yang perlu dicatat di sini, karya ini nantinya bukan atas nama si pelaku research, tetapi menjadi hak milik orang yang membelinya. Artinya, researcher rela karya yang dia hasilkan dihargai dengan murah, bahkan eksistensinya sebagai peneliti tidak diakui. Tentu ukurannya adalah harga sebuah ilmu pengetahuan dan orisinilitas temuan.
Kedua, minimnya penghargaan terhadap sebuah karya ilmiah. Lepas dari soal moralitas, di mata penulis, pemilik biro pembuat skripsi adalah intelektual. Artinya dia hanya bisa melakukan aktivitas ilmiah untuk menghasilkan uang dan mencukupi kebutuhannya. Karena itu dia akan melakukan penelitian dan menjual kepada siapa saja yang mau memberinya materi. Dan ketiga, tidak adanya anggapan oleh masyarakat terhadap paktik jual beli skripsi sebagai sebuah kejahatan. Masyarakat (akademis) kita masih melihat praktik tersebut sebagai hal yang bisa ditoleransi. Kalaupun dikecam hanya "di depan", tetapi "di belakang" tetap dibiarkan berjalan.
Tidak berhenti di sini, pihak pengguna jasa juga terkait cukup erat dalam kasus ini. Pertama, motivasi belajar (kuliah) yang berorientasi pada hal yang bersifat pragmatis (kerja, materi), dan bukan pada akses ilmu pengetahuan yang mencerahkan. Akibatnya, penguasaan ilmu pengetahuan (intelektual) tidak menjadi pertimbangan utama. Pembuatan skripsi yang merupakan aktifitas ilmiah dan menyita waktu tenaga dan fikiran ditempuh dengan cara curang, membeli dari orang lain.
Kedua, belum ada sistem dan mekanisme dari penguji skripsi, tesis, dan disertasi di lembaga perguruan tinggi, untuk membuktikan tingkat keautentikan hasil penelitian. Selama ini standar ukuran dalam ujian skripsi adalah tingkat akurasi data, aspek metodoogi, kesesuaian rumusan masalah dengan hasil temuan, serta presentasi (pertanggung-jawaban) dari mahasiswa yang bersangkutan. Bukankah mahasiswa yang penelitiannya dilakukan orang lain juga bisa presentasi dengan detail dan menjawab semua pertanyaan penguji dengan benar, setelah diajari terlebih dahulu oleh konsultan-nya? Sehingga banyak skripsi yang sebenarnya dibuatkan biro tetap lolos di depan sidang penguji.
Ketiga, kebobrokan mental banga Indonesia yang sudah mulai tumbuh sejak masih duduk di lembaga pendidikan.

Menghargai Karya Intelektual
Ricoeur, seorang filsuf Perancis, berpandangan bahwa melalui tulisan sebuah informasi memungkinkan terdokumentasi dan mampu menembus batas ruang dan waktu, tanpa distorsi yang berarti (Alex Sobur, 2004). Apa bila kita sepakat dengan Ricoeur, skripsi bisa dipahami sebagai sebuah dokumentasi research yang bisa diakses siapa dan kapan saja. Bermanfaat untuk generasi yang akan datang.
Sejarah juga mencatat, negara-negara besar di dunia selalu di bakc up dengan lembaga penelitian handal, selain juga reward yang tinggi untuk sebuah karya ilmiah. Contoh, Lembaga research Al Hikmah kebanggaan Kholifah Al Makmun bin Harun Al Rasyid (198-218 H/813-833 M) dari Dinasti Abasiyyah yang berpusat di Baghdad. Baitul Hikmah atau Khazanatul Hikmah adalah Perguruan Tinggi Islam pertama, berupa gabungan dari perpustakaan umum, akademi, balai penerjemahan, dan observatorium.
Proyek raksasa yang pernah digarap lembaga ini adalah penerjemahan karya para filsuf klasik Yunani. Yang menarik dari penguasa saat itu adalah kepribadiannya yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan, serta menjanjikan hadiah besar bagi masyarakat yang menekuni bidang kajian dan research ilmu pengetahuan. Kelak, dunia mengakui bahwa era Dinasti Abasiyyah adalah masa keemasan bagi dunia keilmuan Islam.
Jadi, salah besar anggapan bahwa lembaga ilmu pengetahuan tidak bisa melahirkan hegemoni politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Justru dampaknya bisa membekas dalam jangka waktu lama. Negara yang tidak memiliki basis research ilmu pengetahuan dan hanya mengandalkan ketrampilan tenaga kerja, paling bagus akan bernasip sebagai “budak” pekerja.
Karena itu praktik korupsi kaum idealis (jual beli skripsi) harus diberantas. Untuk memberantasnya butuh keseriusan yang melibatkan banyak pihak. Di antaranya adalah menumbuhkan budaya menghargai karya ilmiah. Upaya pemerintah untuk mengatasi kesulitan ekonomi juga harus terus ditingkatkan. Dan yang paling menentukan adalah langkah nyata perguruan tinggi, di mana proses transaksi jual beli skripsi berlangsung.
Menurut hemat penulis, sudah seharusnya mahasiswa mampu membuktikan, bahwa dirinya memiliki kelebihan dalam bidang research dan ilmu pengetahuan sesuai bidangnya.


- - - - - - - - - - - -
ALI ROMDHONI
Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Mantan Pemimpin Umum Surat Kabar Mahasiswa AMANAT IAIN Walisongo Semarang. Peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) se-Indonesia di TMII Jakarta 20-27 Oktober 2005 aliromdhoni@yahoo.com.

Komentar

Postingan Populer