lebaran


KOMPAS, Senin, 23 Oktober 2006

Hakikat Lebaran
oleh ALI ROMDHONI



Hari Raya (Id) bukanlah untuk orang yang berpakaian baru.
Hari Raya adalah milik orang yang takwa (tha’at)-nya bertambah—setelah beribadah di bulan suci Ramadhan.

Dua bait “syair” (yang teks asalnya berbahasa Arab) ini dilantunkan serangkai dengan takbir yang menggema di malam menjelang shalat Id. Namun sayang, kini “syair” itu hanya menjadi petanda tibanya Hari Lebaran. Sementara isinya tidak pernah direnungkan.
Di negeri ini, makna Id yang semula ‘kembali pada kesucian rohani (spiritual),’ kini identik dengan ‘biaya mahal’, dan ‘simbol kemewahan’. Jargon seperti Selamat Idul Fitri, Mari Kembali pada Kesucian, dan sebangsanya, hanya menjadi ritual. Ia diucapkan lembaga/perusahaan melalui spanduk besar sebagai wujud partisipasi. Ia dikirimkan kepada sanak kerabat via karleb, SMS, dan kiriman parsel sebagai wujud tali silaturrahim.
Ya, hampir-hampir, Lebaran hanya dimiliki orang berduit. Sementara bagi orang susah, Lebaran hanya menyisakan harapan yang tak sampai. Lebaran bak teror tahunan.
Bagaimana tidak? Di negeri ini, jangankan untuk membeli baju baru, karleb, pulsa, atau parsel yang harganya ratusan ribu, banyak masyarakat kita yang makan hanya sekali dalam sehari. Masyarakat jenis ini jelas tidak memiliki anggaran untuk merayakan Lebaran, dengan sedikit beda dari hari-hari biasa. Bagi masyarakat ini pula, kumandang takbir di malam Id semakin mempertegas derita mereka yang tak mampu bersuka cita di Hari Raya.
Mari kita tingkatkan kepekaan sosial di hari mulia. Selamat Idul Fitri saudarakau. Sejahteralah bangsaku.

ALI ROMDHONI
Alumni Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang
Peneliti di ILHAM Institut Semarang

Komentar

Postingan Populer