iklan pt

Iklan Perguruan Tinggi, Indikasi Komersialisasi Pendidikan

Oleh ALI ROMDHONI

Mempromosikan sebuah produk bagi perusahaan merupakan satu keharusan apa bila produknya ingin dikenal di pasaran. Misalnya melalui papan besar (billboard) yang dipajang di pusat keramaian kota, atau spanduk dan brosur yang ditempel di pinggiran jalan dan di gerobak pedagang kali lima. Dunia periklanan menyebut beberapa jenis ini outdoor advertising atau promosi di luar ruangan.
Promosi juga dilakukan di dalam ruangan (indoor advertising), seperti di mal dan supermarket, atau melalui pertemuan-pertemuan dan seminar yang sengaja digelar untuk tujuan promosi. Ada juga promosi melalui layanan iklan di media cetak dan elektronik, disamping lewat website di internet. Untuk jenis yang terakhir disebut, sangat marak digunakan sebagai media promosi yang efektif dan digemari.
Semua usaha di atas lazim dilakukan dalam dunia bisnis, lebih-lebih di era persaingan yang semakin ketat sekarang ini. Bahkan, dunia pendidikan pun tidak luput dari praktik cara-cara di atas. Terbukti banyak perguruan tinggi (PT), baik negeri maupun swasta, yang favourit maupun yang masih dalam tahap perkenalan, iklan besar-besaran di media cetak, elektronik maupun lainnya --terlebih pada saat membuka pendaftaran untuk mahasiswa baru. Dan yang perlu dicatat, iklan ini memakan biaya yang cukup besar.
Pertanyaannya, mengapa dunia pendidikan merasa perlu beriklan layaknya sebuah perusahaan.
Analoginya, penyelenggara pendidikan (PT dan semacamnya) dan perusahaan sama-sama menghasilkan dan memiliki produk. Tentu saja bentuk produknya adalah “jasa pelayanan” pendidikan. Sementara masyarakat adalah calon konsumen yang menjadi incaran para produsen. Dalam konteks ini, iklan PT dengan tujuan mengenalkan visi dan misi serta kwalitas kepada masyarakat adalah sah-sah saja. Bahkan bisa jadi diperlukan.
Makna Filosofi Iklan
Mendekati hari-hari pendaftaran calon mahasiswa baru seperti sekarang ini, hampir di setiap pusat keramaian kota yang terdapat PT di dalamnya, diwarnai dengan perang spanduk, billboard dan brosur sebagai ajang promosi dan informasi pendaftaran masuk PT. Tidak hanya itu, di pusat-pusat perbelanjaan seperti mal dan supermarket juga terdapat pemandangan serupa.
Di rumah, ketika menyaksikan acara di televisi, seorang artis mengenalkan sebuah PT dengan segala kelebihan dan kenyamanan belajar. Bahkan ada salah satu iklan PT yang memberi jaminan masa depan setelah lulus. Di koran dan majalah juga demikian.
Dari sekian iklan yang ada, ujung-ujungnya sama yaitu membuat orang tertarik dan mau “membeli” yang diiklankan. Menurut St. Sunardi, selain memberikan informasi (komersial) dan tidak jarang juga berbau propaganda, iklan dibuat untuk mengajak masyarakat menjadi salah satu konsumen setia dari komoditas yang sedang diiklankan (St. Sunardi, Semiotika Negativa, hlm. 157). Ini artinya, iklan sebenarnya lebih berorientasi pada mengajak pembaca dan pemirsa untuk mempercayai, kemudian meyakini apa “kata” iklan. Dan tentu saja, setelah itu menjadi konsumen yang setia dan tidak mudah berpaling.
Penulis berasumsi, iklan --apa pun jenisnya— pada hakekatnya adalah usaha untuk mengkonstruksikan realitas (yang diiklankan). Sebagaimana sebuah berita (media) berupaya “menceritakan” realitas yang diberitakan dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya.
Dalam teori semiotik, sebuah berita --begitu juga iklan-- dikomunikasikan melaui seperangkat tanda (sign). Teks berita dan iklan yang tersusun atas seperangkat tanda ini tidak pernah membawa makna tunggal. Yang berarti ada bias-bias tertentu dalam berita dan iklan. (Alex Sobur, Analisis Teks Media, hlm. 95). Sehingga, iklan mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna (meaning) dan gambaran (citra) dari realitas yang dikonstruksikannya (constructed reality), sesuai kepentingan pemilik iklan.
Apa bila demikian, iklan sebenarnya bukan menggambarkan “relitas sebenarnya”, dan dia merupakan second hand reality (meminjam bahasa M. Edy Susilo), yang hanya menyajikan potongan-potongan realitas hasil ciptaan pemilik iklan, untuk membuat citra (unggul) atas produknya. Tujuannya jelas mencari keuntungan untuk diri sendiri, dengan mempengaruhi kesadaran calon konsumen supaya tidak mudah berpaling ke produsen lain. Tanpa mau tahu, apakah konsumen sebenarnya tercerahkan, atau terbodohi.
Promosi Perguruan Tinggi
Maraknya iklan PT adalah indikasi dari komersialisasi pendidikan di Indonesia. Misi Pendidikan Nasional yang seharusnya mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak lagi jalan. Banyak lembaga pendidikan telah beralih rupa menjadi lembaga komersial dan hanya berorientasi pada pencapaian materi. Pendidikan diperlakukan layaknya komoditas yang mendatangkan kekayaan berbentuk harta. Akibatnya, pendidikan hanya milik mereka yang berduit.
Hal ini tidak lepas dari akibat pemberlakuan otonomi daerah yang berimplikasi pada otonomi PT. Dalam era otonomi, PT dituntut bisa menghidupi dirinya sendiri. Sehingga terjadi pertarungan antar PT dalam mencari sebanyak mungkin calon pengguna jasa lembaga pendidikan. Diantaranya dengan promosi PT sebagaimana dijelaskan di atas.
Menurut penulis, dunia pendidikan yang mengemban tugas dan misi agung untuk membebaskan manusia di seluruh muka bumi dari kebodohan dan kebutaan ilmu pengetahuan, mustinya, sangat tidak etis apa bila memakai cara-cara yang bersifat membodohi masyarakat. Apa lagi hanya sekedar untuk tujuan mencari keuntungan yang sifatnya pribadi atau kelompok.
Perlu langkah riil dari pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dan Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama, untuk lebih gencar lagi mengimbangi maraknya penawaran pendidikan tinggi melalui iklan, dengan cara mensosialisasikan secara langsung hal-hal yang berkenaan dengan PT, melalui media yang sama.
Kini, saatnya masyarakat juga harus waspada dan tidak asal percaya terhadap maraknya penawaran pendidikan tinggi melalui iklan. Sehingga tidak salah memilih PT yang keluar dari misi pendidikan yang luhur.
Tetapi persoalannya, masih adakah PT yang setia mengemban tugas suci tersebut? Apa bila ada, sampai kapa ia mampu bertahan? Hal ini menjadi renungan kita bersama. Wallah a’lam.
ALI ROMDHONI
Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat. Aktif di Surat Kabar Mahasiswa AMANAT (sebagai Peneliti), IAIN Walisongo Semarang.

Komentar

Postingan Populer