kekuasaan

Jangan Libatkan Mahasiswa Dalam Politik Kekuasaan

Oleh ALI ROMDHONI

“Itu langkah maju. Karena di sini ada suatu pengaruh besar, khususnya dalam pendidikan politik”. Demikian ungkapan Mendiknas Malik Fajar merespon lahirnya undang-undang pemilu yang baru. (Suara Merdeka, 20/2/2003). Undang-undang pemilu yang baru tersebut disyahkan oleh DPR pada selasa malam 18/2/2003 setelah melalui sidang panjang yang melelahkan. Undang- undang ini sebagai peganti UU No. 3/1999.
Yang menarik, undang-undang pemilu yang baru ini memberi peluang bagi parpol yang ingin berkampanye di lembaga pendidikan. Walaupun dengan syarat mendapat ijin dari pimpinan lembaga dan tidak mengganggu kegiatan belajar. Di Semarang sendiri komentar para pimpinan Perguruan Tinggi bermacam-macam. Ada yang menyambut baik, dan ada yang mengatakan bahwa penyelenggaraan kampanye di kampus belum saatnya. Rektor Undip Prof. Ir. Eko Budiharjo menyatakan keberatan jika kampanye di gelar di linkungan kampus. Alasannya bisa berakibat pacahnya civitas akademika. Sementara Rektor IAIN Walisongo Prof. Dr. Abdul Jamil, MA tidak keberatan kalau memang kampanye akan di gelar di lingkungan kampus. Asalkan pelaksanannya harus dengan ketentuan-ketentuan yang mengikat. (lihat Suara Merdeka, 22/2/2003).
Apabila kita mencermati kondisi masyarakat yang semakin kritis dan tidak lagi percaya dengan janji-janji partai. Setidaknya hal ini terbukti dengan kembali maraknya wacana golput menjelang pemilu 2004. Fenomena ini mengakibatkan para elite dan penguasa takut luar biasa akan berkurangnya legitimasi kekuasaan dalam pemilu nanti. Sehingga di rumuskan RUU yang secara tegas mengatur golput. ( tulisan Murdiyat Moko, Suara Merdeka, 17/2/2003). Maka ada beberapa faktor yang mendorong undang-undang pemilu memperbolehkan lembaga pendidikan menjadi bagian dari “ajang kampanye” parpol peserta pemilu.
Pertama, pemberbolehan ini dimaksudkan untuk menjembatani partai mencari massa yang berbasis intelektual dengan tujuan meningkatkan citra partai, dimana kaum akademis masih kental dengan kebenaran murni dan keberpihakannya pada kepentingan rakyat banyak. Nah, bagi partai yang berhasil merangkulnya berarti akan mendapat simpati lebih banyak dari masyarakat. Karena dalam partai tersebut berkumpul para intelektual yang masih punya idealisme tinggi. Dan, tentu saja partai ini akan dipercaya menampung aspirasinya.
Kedua, melibatkan kaum akademis secara langsung dalam parpol dengan tujuan meningkatkan mutu SDM partai. Para akademisi tentunya masih mempunyai semangat dan loyalitas yang tinggi. Sehingga semangatnya untuk memajukan partai tidak diragukan lagi. Kalau selama ini perjuangan mahasiswa hanya lewat demonstrasi, atau mengajak dialog dengan pejabat. Maka akan lebih efektif bila terlibat langsung dalam partai. Sehingga bisa ikut menentukan kebijakan yang diambil partai.
Ketiga, strategi kelompok tertentu yang ingin menyeret masyarakat kampus (mahasiswa) untuk terjun secara langsung ke politik praktis. Dengan demikian mahasiswa –yang selama ini lantang menyuarakan kritik terhadap mereka yang hanya mementingkan kepentingan sepihak-- telah terjebak pada permainan kekuasaan. Bisa di bayangkan, kelompok yang selama ini banyak mengawasi gerak gerik partai, lebih-lebih yang tidak fair telah masuk di dalam “kubangan” yang di galinya sendiri.
Apabila yang terjadi adalah yang pertama, pihak civitas akademika perlu hati-hati. Karena meskipun mahasiswa tidak dirugikan tapi dibuat perantara untuk menarik simpati masyarakat. Dan untuk menghadapi hal ini kelompok mahasiswa bisa mengadakan siasat balik. Misalnya dengan mengimbangi permainan politik parpol.
Nah, seandainya yang terjadi adalah yang ke dua, maka mahasiswa harus mau menyambut baik keinginan partai dan membantunya mewujudkan partai yang demokratis dan benar-benar membela kepentingan rakyat. Dan kita tidak boleh membuang muka begitu saja dengan orang-orang yang berittikad baik. Apa lagi ini masalah yang menyangkut nasib bangsa pada umumnya.
Yang tidak kalah penting, mahasiswa musti mengantisipasi kemungkinan yang ketiga. Bukankah sangat mungkin pada akhirnya mahasiswa hanya akan di peralat untuk mencapai target prestasi politiknya. Bukankah dalam dunia politik segala cara adalah syah. Dan segala kebijakan adalah halal. Maka menjebak mahasiswa dengan ajakan-ajakan yang halus menjadi sangat mungkin.
Lepas dari kemungkinan mana yang terjadi, pihak kampus perlu mempersiapkan sambutan model apa yang akan di suguhkan untuk menyambut para parpol yang akan datang untuk berkampanye. Bagaimanapun dia datang untuk menawarkan sesuatu pada kita (mahasiswa). Dan kalau memang kita tidak keberatan kita di minta bergabung dengannya. Sebagai kaum yang mengedepankan intelektual hendaknya kita tidak mengiyakan begitu saja. Tetapi bisa memberi komentar balik dengan tawaran-tawarannya.
Di luar garis
Saya lebih setuju kalau mahasiswa tetap bersikap independen. Biarlah mereka tetap netral berada “di luar garis” kekuasaan, dan menjalankan tugasnya mengontrol pemegang kekuasaan. Mahasiswa bebas turun kejalan kapan saja apa bila memang kondisinya menuntut. Karena dengan begitu mereka bisa ikut berpartisipasi membawa bangsa ini pada situasi yang lebih baik.
Memang, kalau kita terlibat secara langsung akan mendapat pendidikan politik yang berharga. Dan ini memang diperlukan. Tapi, toh pendidikan politik tidak harus terlibat secara langsung.
Dalam kamus politik, sebersih apa pun orangnya kalau sudah berada dalam lingkaran politik kekuasaan tidak bisa menolak yang namanya iming-iming mobil mewah, rumah megah, dan lain sebagainya. Begitu juga kalau mahasiswa dilibatkan langsung dalam politik kekuasaan, berarti mempersempit gerak mahasiswa. Apa tidak malah semakin menambah celah kebobrokan baru.

Butuh Pihak Yang Mengingatkan
Sebagian dari para elit sekarang, --yang ternyata juga tidak menjalankan amanat rakyat secara baik, malah memikirkan kepentingan kelompoknya sendiri— adalah yang ketika masih di bangku kuliah punya idealisme tinggi. Mereka (dulu) adalah mahasiswa yang vokal melawan pemerintah yang dianggap menyelewengkan amanat rakyat. Sampai akhirnya kondisi politik berubah dan nasib membawa mereka pada pemerintahan yang berbeda. Merekapun ikut menjadi orang penting. Dan kini, ketika sudah memegang kekuasaan juga tidak lebih baik. Lupa dengan sederet idealisme yang dimiliki dan yel-yel yang mereka teriakkan. (baca Suara Merdeka, Demonstrasi, 21/2/2003).
Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan pihak yang bisa mengingatkan tanpa di landasi kepentingan pribadi. Dan diantara bagian yang mengemban tugas tersebut biarlah mahasiswa.
Dengan bolehnya parpol kampanye di kampus, pihak lembaga pendidikan perlu bersikap ekstra hati-hati. Jangan sampai dunia kampus sebagai tempat untuk mencipta pribadi-pribadi unggulan, yang diharapkan bisa mewarisi bangsa yang tak lagi jaya ini, tidak lagi bisa menjalankan fungsinya. Hanya karena ulah kelompok yang ingin memanjakan hidupnya sendiri tanpa mempedulikan derita orang-orang di sekitarnya.

ALI ROMDHONI
Mantan mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat IAIN Walisongo Semarang
Tinggal di Asrama Mahasiswa IAIN Walisongo.

Komentar

Postingan Populer