wisata sungai

KOMPAS Selasa, 5 Juli 2005
Menggagas Wisata Sungai di Semarang

Oleh ALI ROMDHONI

Adalah Zheng He alias Cheng Hoo, laksamana laut pada masa Dinasti Ming ini ditugaskan memimpin pelayaran armada Cina ke Samudera Barat (kawasan sebelah barat Pulau Sumatra). Laksamana yang berasal dari Provinsi Yunan, China, ini membawa misi kemanusiaan, perdamaian dan perdagangan. Selama ekspedisi, Cheng Hoo bukan hanya pemimpin armada yang hebat. Tetapi juga sebagai penyebar agama Islam. Hal ini maklum, karena Cheng Hoo adalah juga seorang muslim yang taat.
Konon, Cheng Hoo mendarat di Semarang pada abad ke-14. Kala itu, Cheng Hoo memutuskan membuang sauh di sebuah semenanjung di Pantai Utara Jawa karena orang nomor dua dalam armadanya, yaitu Wang Jinghong, sakit keras. Bersama anak buahnya, Cheng Hoo kemudian menyusuri sungai yang kini dikenal Sungai Kaligarang. Setelah mengayuh beberapa lama, Cheng Hoo tiba di sebuah desa bernama Desa Simongan.
Lantaran tertarik akan keindahan alam bebatuan di sekitarnya, Cheng Hoo yang beragama Islam itu memutuskan untuk beribadah di sebuah gua batu. Di tempat inilah akhirnya Wang Jinghong sembuh dan berbaur dengan masyarakat setempat yang berkultur Jawa asli. Bahkan, Wang Jinghong kemudian menikahi perempuan setempat serta berhasil membangun sebuah komunitas dagang.
* * *
Kota Semarang ternyata menyimpan kenangan keindahan dan stabilitas alam. Bahkan, sampai sungai dan bebatuan pun membuat terpesona tokoh legendaris Cheng Hoo, panglima perang negeri seberang itu.
Lewat transportasi air (baca: sungai) telah membawa Cheng Hoo menyusuri Sungai Kaligarang, terpana dan untuk sementara singgah di bumi Semarang. Dan sekarang, masyarakat luas telah menyandingkan nama Kota Semarang dengan kebesaran laksamana China itu.
Memang saat itu di Semarang belum mengenal alat transportasi moderen seperti bus, taxi, kereta api, apa lagi kapal terbang. Namun betapa kondisi alam saat itu begitu stabil dan bersahabat dengan manusia yang mendiaminya.
Keindahan Semarang juga sudah diakui sejak Belanda menguasai pusat-pusat perdagangan di kota yang sampai sekarang dikenal dengan kota dagang ini.
Melalui Dinas Pariwisata, pemerintah Hindia belanda pernah mengeluarkan buku-buku petunjuk wisata dengan memberi sebutan Semarang dengan nama Costa Brava van Java. Costa Brava adalah sebuah tempat wisata di Eropa yang banyak dikunjungi saat liburan (Batavia: Venesia dari Jawa, Republika Online, Minggu, 05/12/2004).
Ini berarti pemerintah kolonial Belanda mengagumi keindahan Semarang sehingga menjulukinya dengan nama sebuah tempat di Eropa yang memiliki keindahan setara. Di era moderen sekarang ini, semua keindahan itu seakan hilang. Kota Semarang tidak lagi seindah dalam cerita yang ada sebagaimana zaman dulu.
Banyak bangunan gedung di kota ini yang tidak terawat dengan baik, sebanding dengan banyaknya pembangunan baru yang kurang mempertimbangkan dampak lingkungan dan keindahan (estetika) kota. Kebersihan dan kenyamanan kota menjadi masalah serius yang tak kunjung terselesaikan. Diantaranya adalah kebersihan sungai.
Sebagaimana diketahui, sungai menjadi bagian dari kondisi kota Semarang. Seperti sungai Banjir Kanal Barat (tembusan sungai Kaligarang), sungai Banjir Kanal Timur, sungai Werok yang berada dekat Kota Lama, dan Kali Banger yang melintas di jalan Kaligawe.
serta masih ditambah lagi dengan sungai-sungai lainnya. Di antara sungai yang ada, dua sungai yang disebut pertama adalah sungai terbesar. Dalam sejarahnya, sungai-sungai ini memiliki andil besar baik bagi keindahan kota maupun dalam membantu kehidupan warga Semarang.
Sepanjang penelusuran penulis beberapa waktu yang lalu, serta berdasarkan data yang dapat dihimpun, dahulu memang para nelayan dapat membawa perahu-perahu mereka dari laut menyusuri sungai yang sekarang dikenal dengan sungai Werok sampai di daerah sekitar bangunan Kota Lama dan melakukan aktifitas ekonomi di Pasar Johar.
Keberadaan sungai Werok ini juga sekaligus menambah keindahan panorama serta keanggunan bangunan gedung-gedung megah di kawasan Kota Lama buatan pemerintah kolonial Belanda itu.
Kini, sungai-sungai itu tidak lagi mempesona bagi mata yang memandangnya. Alih-alih, Bahkan, membuat orang menutup hidung karena baunya yang kurang sedap. Tidak ada lagi perahu-perahu nelayan yang melintas. Tidak ada ikan yang hidup, bahkan seakan bebek-bebek pun tak mau berenang karena sangat kotornya. Nyaris sungai-sungai itu sudah berubah fungsi jadi selokan besar. Airnya pun berubah warna menjadi hitam dan berbau busuk. Bahkan, sungai tembusan Banjirkanal Timur dan Kalibanger yang melintasi jalan Kaligawe, serta sungai Werok di dekat bangunan Kota Lama seakan menjadi "lautan sampah".
Ketika hujan deras mengguyur, sungai-sungai yang kelebihan air menghantam rumah-rumah yang kebanjiran di kiri kanan bantarannya. Hujan deras, macet dan banjir seakan menjadi rutinitas bagi kota Ki Ageng Pandanaran ini.
Butuh Kesungguhan Pemerintah
Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang beberapa waktu lalu memang sudah melakukan program "Resik-resik Kota". Tapi, agaknya tidak sampai berupaya untuk memfungsikan kembali sungai-sungai ini.
Apa lagi sekarang masih kelelahan akibat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serta disibukkan dengan musim pergantian Wali Kota. Kondisi sungai-sungai ini jelas tidak terfikirkan.
Padahal kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Banyak warga dan pengguna jalan di seputar wilayah sungai bermasalah tersebut, terganggu luapan air sungai yang mengakibatkan jalan dan rumah yang mereka tempati tergenang air setiap kali turun hujan. Kondisi sungai yang seperti itu juga sangat berdampak negatif bagi kesehatan warga yang berada di dekatnya, selain juga mengganggu keindahan kota.
Dengan demikian, menjadi pekerjaan utama Pemkot Semarang dengan Wali Kotanya yang baru terpilih, untuk melakukan terobosan penataan kota dengan memprioritaskan kebersihan dan keindahan sungai sebagai salah satu target operasi. Kondisi sungai yang penuh dengan lumpur dan sampah harus dekeruk. Begitu juga dengan selokan yang mengalirkan air ke sungai.
Target ke depan adalah menjadikan sungai-sungai di Semarang sebagai tempat wisata alternatif. Program ini tidak semata-mata memaksimalkan fungsi sungai sebagai pusat aliran air yang bisa mengurangi dampak banjir di beberapa titik rawan banjir, tetapi juga menjadikan sungai sebagai bagian dari urat nadi pariwisata dan meningkatkan taraf kehidupan warga. Di masa lalu, fungsi sungai-sungai besar di Indonesia, tak terkecuali sungai-sungai di Semarang, juga menjadi urat nadi kebudayaan. Karena, melalui sungai kebudayaan-kebudayaan asing masuk, bertemu dan berinteraksi dengan kebudayaan-kebudayaan lokal.
Bukankah tidak menutup kemungkinan, sungai-sungai besar yang masih bisa dilalui perahu, seperti sungai Banjir Kanal Barat dan Timur, dijadikan sebagai pusat lalu lintas air sebagai jalan transportasi alternatif untuk mengurangi kemacetan lalu lintas darat. Dan bukankah menjadi hal yang unik dan istimewa, di era moderen sekarang, sebuah kota dilengkapi dengan transportasi sungai, selain transoprtasi jalan darat.
Pekerjaan ini tidak ringan dan memerlukan biaya banyak. Namun hal ini juga dilakukan Pemerintah Korea Selatan (Korsel) ketika menjadi tuan rumah pada penyelenggaraan Olimpiade tahun 1988 di Seoul. Pemerintah Korsel waktu itu melakukan pembersihan pada sungai-sungai di kota itu, yang kemudian menjadi tempat wisata air bagi wisatawan yang banyak berdatangan.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 35/1991 tentang Sungai, Pasal 7 menyebutkan fungsi yang serbaguna bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Serta keharusan melindungi dan menjaga kelestariannya, meningkatkan fungsi dan manfaatnya. Sehingga sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memaksimalkan fungsi sungai demi kesejahteraan warganya, serta dengan tetap menjaga kelestariannya.
Hal ini bisa tewujud kalau Pemkot serius dan sungguh-sungguh bersedia melakukan pekerjaan ini. Memang, harus diakui apresiasi masyarakat kita, begitu juga pemerintah, terhadap sungai-sungai di Tanah Air memang kurang. Sungai dibiarkan tercemar hingga kotor dan beracun. Fungsi sungai sebagai urat nadi keindahan dan kenyamanan lingkungan pun hilang. Kesadaran masyarakat bahwa fungsi sungai sangat fital terhadap kehidupan masih sangat minim. Hal ini menjadi tugas kita bersama.
ALI ROMDHONI
Pemerhati masalah sosial dan budaya
---------------------------------------
tulisan ini ditampilkan dalam bentuk lengkap sesuai ketika pertamakali dikirim penulis ke redaksi KOMPAS. dalam edisi terbit di KOMPAS mengalami editing.

Komentar

Postingan Populer