hutan kota


Menyelamatkan Semarang dengan Hutan

Oleh ALI ROMDHONI


Kota Semarang dengan jumlah penduduk 1, 3 juta jiwa serta luas wilayah 373, 70 kilometer persegi secara topografi terbagi menjadi dua bagian. Yaitu bagian bawah (wilayah utara) berada di ketinggian 0-3, 5 meter di atas permukaan air laut (DPL) dan bagian atas (wilayah selatan) berada di ketinggian 90-200 meter DPL.
Berdasar pada hasil survei Pusat Kajian Lingkungan Hidup (PKLH) Universitas Negeri Semarang tahun 2001, setiap tahun tanah di kota yang terletak di tepi pantai utara ini mengalamai penurunan (amblas) antara 0. 02 meter hingga 0. 25 meter (KOMPAS, Kamis 29 Maret 2001).
Angka ini memiliki potensi terus bertambah seiring pesatnya perkembangan pembangunan di kota Semarang yang kurang memperhitungkan aspek lingkungan. Juga eksploitasi sumber daya alam (SDA) seperti pengerukan gunung yang terus dilakukan.
Apa bila angka penurunan tanah di atas dibuat rata-rata 0. 20 meter pertahun, dalam jangka waktu 25 tahun angka itu mencapai 5 meter. Dengan demikian wilayah dataran rendah seperti Johar, jalur Arteri dan lainnya 25 tahun yang akan datang tinggal kenangan alias terendam air.
Sebagaimana pengamatan penulis, saat ini saja air rob yang menggenangi sepanjang jalan Raden Fatah tidak bias hilang dan jalan harus dibuat lebih tinggi kira-kira setengah meter.
Prediksi tenggelamnya kota Semarang (bagian bawah) bakal menjadi kenyataan apa bila Pemerintah Kota dan masyarakat tidak melakukan upaya yang signifikan dalam menanggulangi kemungkinan terjadinya bahaya ini sejak dini.
Sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah Semarang menjadi pusat pemerintahan dan sentral aktifitas masyarakat Jawa Tengah. Dari politik, ekonomi, pendidikan, rekreasi sampai sebagai lingkungan tempat tinggal. Selain juga menjadi persinggahan para tamu yang berkunjungi ke provinsi ini.
Tidak sedikit pejabat negara, pelajar, agamawan, budayawan, seniman, olah ragawan, juga pelaku bisnis yang tinggal di kota ini. Tidak kalah banyaknya sekolahan, kampus, rumah sakit, pusat perbelanjaan, rumah ibadah, tempat rekreasi, gedung perkantoran dan pabrik.
Kondisi kota yang tidak ideal secara biologis, psikologis dan ekologis menyebabkan penghuninya terganggu dan tidak maksimal dalam menjalankan aktifitas. Juga mengancam lahirnya bayi-bayi yang tidak sehat, mengalami gangguan kemampuan otak dan cacat fisik.
Sehingga masalah keamanan, kenyamanan dan keseimbangan SDA kota menjadi kebutuhan utama. Salah satu upaya yang bias dilakukan adalah memberdayakan secara lebih maksimal fungsi hutan kota (urban forest).
Hutan kota adalah suatu lahan yang bertumbuhan pohon-pohonan di wilayah perkotaan di tanah negara maupun tanah milik, yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luas yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau pohon-pohonan, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai hutan kota (Hasil rumusan Rapat Teknis di Jakarta pada bulan Pebruari 1991).
Namun secara sederhana hutan kota bias berbentuk Jalur Hijau pepohonan yang tumbuh di kiri dan kanan jalan raya, sungai maupun tanaman pendek di bawah jalur kawat listrik dan telepon. Begitu juga dengan taman kota, kebun dan halaman, kebun raya dan kebun binatang.
Hutan kota berfungsi menjaga kestabilan tanah, melestarikan SDA perkotaan dan bekerja sebagai penyerap karbon (carbon sink) dan penyimpan karbon (carbon reservoir) yang umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga. Sehingga kota terbebas dari polusi, tetap sejuk dan indah dan tentu saja mencerdaskan warganya.
Di kota Semarang, beberapa hutan kota yang dimiliki hampir semuanya berada jauh dari jantung atau pusat keramaian kota. Seperti kawasan Taman Margaraya Tinjomoyo di wilayah selatan kota dan Taman Lele di wilayah barat. Kecuali taman KB (Keluarga Berencana) di belakang kantor Gubernuran dan kawasan tata ruang hijau menyerupai taman yang berada di pusat-pusat keramaian kota. Itu pun dengan luas tanah yang terbatas.
Sebagai paru-paru kota, sudah semestinya dibutuhkan hutan kota yang berlokasi di tengah-tengah kota. Karena di pusat kota-lah tingkat aktifitas di kawasan itu bisa dibilang paling tinggi dan paling tinggi pula tingkat pencemarannya.
Mengingat ruang terbuka hijau semakin jarang ditemui di kota ini, langkah alternatif adalah mengajak perguruan tinggi terutama yang berlokasi di tengah kota, berpartisipasi memfungsikan kampus sebagai hutan kampus. Dengan menanam pepohonan yang rindang dan bermanfaat di lingkungan kampus. Tentu dengan tetap menjaga estetika.
Hal yang sama juga bisa dilakukan oleh sekolahan, rumah sakit, masjid dan gereja.
Yang lebih penting lagi perlu dibuat hutan kota di wilayah bibir pantai. Dengan membuat hutan kota berupa formasi hutan mangrove (bakau) dapat bekerja meredam gempuran ombak dan membantu proses pengendapan lumpur di pantai.
Dengan demikian hutan kota selain dapat mengurangi bahaya abrasi pantai, juga berperan dalam proses pembentukan daratan. Proses penurunan permukaan tanah pun dapat terkurangi.
Upaya ini perlu diimbangi dengan perencanaan pembangunan kota yang memperhatikan aspek lingkungan serta pengelolaan sampah kota secara optimal. Aktifitas pengerukan gunung dan bukit pun perlu dikurangi kalau perlu dihentikan.
Bila daerah resapan banyak yang dijadikan pemukiman dan perkantoran, fungsi daerah resapan hilang. Banjir di waktu yang akan datang semakin besar. Bahaya mengancam kota Semarang. Mari selamatkan Kota Semarang.


-------------------
ALI ROMDHONI

Pemerhati masalah Sosial dan Budaya.

Komentar

Postingan Populer